Kamis, 24 Desember 2009


Ada suatu hal menarik yang ingin saya sampaikan mengenai nama kota Makassar. Biasanya  kita terpengaruh dengan nama-nama asing. Tetapi sebaliknya, banyak nama kota Makassar di belahan dunia lain. Ini menarik! Di Afrika Selatan ada kota dengan nama Macassar. Jelas, karena banyak imigran asal Makassar di sana. Di Mozambique (Mosambik) juga ada kota bernama Macassar. Kurang tahu, apa ada orang Makassar di sana. Umumnya kampung tempat rantauan orang Bugis atau Makassar, berada di tepi pantai. Sedangkan kota
ini ada jauh di pedalaman Mosambik.

Dibawah keterangan mengenai daerah Makassar di Mozambique yang dikutip dari Wikipedia:

Rabu, 23 Desember 2009

Kota Cape Town yang indah terletak di semenanjung ujung selatan benua Afrika. Di sana, ada sebuah gunung setinggi 1.086 meter yang yang dinamai Table Mountain, karena bentuk plateau-nya datar seperti meja, dilengkapi dengan taplaknya dari awan putih, yang menjadi latar spektakuler. Di lerengnya, terdapat University of Cape Town tempat Dr. Christian Barnaard melakukan operasi cangkok jantung pertama di dunia. Di pusat kola ada benteng kuno VOC yang didirikan tahun 1666. Kota ini memang didirikan di tahun 1652 oleh Jan van Riebeeck, komandan armada laut Belanda. Di seberang teluk terdapat sebuah pulau, Robben Island, tempat Nelson Mandela dipenjara selama 28 tabun. Semenanjung, ini 60 juta tahun yang lalu adalah sebuah pulau terpisah dari Afrika.

Ada yang lebih menarik. Bila kita naik mobil ke arah timur lewat jalan raya utama menuju Port Elizabeth, setelah melewati bandara, kita akan sampai di Kota Kuilsrivier. Pada kilometer 38,5 kita akan sampai di kota Faure, yakni di persimpangan jalan menuju Kota Stellenbosch di utara. Di tepi jalan, akan terlihat sebuah papan nama bertuliskan: Makassar. Ini tidak salah, memang desa ini bernama Makassar. Di desa ini, terdapat sebuah jalan setapak mendaki bukit kecil yang berangin kencang. Di puncaknya, kita temukan bangunan kecil berkubah hijau yang menaungi makam yang sangat dihormati dan dianggap keramat oleh Muslim Afrika Selatan. Setiap calon jamaah haji di sana, baik yang awan maupun intelektual, tidak berani berangkat ke Mekah sebelum ziarah ke makam ini. Tujuannya untuk berterima kasih kepada orang yang sangat berjasa menyelamatkan Afrika Selatan dari kegelapan menuju Islam.


Orang yang dimaksud adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati, ulama pejuang pembawa Islam ke Afrika Selatan. Dia lahir di Gowa, Makassar, 16 juli 1626. Sejak kecil sudah mampu menamatkan Al Quran. Dia kemudian mendalami ilmu fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Pada Usia l9 tahun, dia ikut kapal Portugis berlayar ke Mekah, melalui Banten, Aceh, dan Yaman. Di Aceh berguru pada Syekh Nuruddin ar-Raniri sampai memperolch ijazah Tarekat Qadiriah. Di Yaman, mendapatkan ijazah Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Ba'lawiyah dari Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi' dan Sayid Ali Zubaidi. Setelah selesai menunaikan haji di Mekah, dia pergi ke Madinah. Di sana berguru kepada Syekh Burhanuddin al-Milah sampai mendapat ijazah Tarekat Syattariah. Tidak puas, dia memenuhi "rasa hausnya" ke negeri Syam. Di sanalah dia mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah dari gurunya, Syekh Abul Barkah Ayyub. Sepulang ke tanah air, dia berdakwah di Sulawesi, lalu menetap di Banten.


Pada tanggal 4 hingga 13 Oktober 2009 lalu, wartawan Republika, Syahruddin El-Fikri, atas undangan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, ikut dalam program “International Media Visit”. Ia berkesempatan meliput kegiatan umat Islam di sana. Berikut laporannya.


Sebuah tanya mengemuka. Bagaimana agama Islam masuk ke Australia? Dr H Amin Hady, ketua Federasi Informasi dan Studi Islam (FISI) Australia, memiliki jawabannya. Ia mengungkapkan, Islam masuk ke Australia sejak abad ke-16 dan 17.

Pertama kali, ujar Hady, agama Islam dibawa oleh para nelayan dan pelaut yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. ”Mereka tiba di pesisir utara wilayah Australia Barat, Australia Utara, dan Queensland,” ujarnya.


Minggu, 20 Desember 2009

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.

Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut ‘Cella Bangkahulu’ yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.


Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.




Sejak Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada jarak delapan puluh tahun sebelum Kerajaan Melayu di Sumatra bagian timur me­ngirimkan sebuah misi ke Cina dan melakukan perdagangan. Kon­disi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda kehidupan mulai muncul kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar telah runtuh. Jalur darat menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan lagi, dan pola perdagangan telah berganti ke jalur laut menuju Selat Malaka.

Ketika Kerajaan Ko-ying dan Kan-to-li mulai berdiri, kelang­sungan hidup kerajaan-kerajaan di Indonesia telah dan terus ber­gantung pada keseimbangan tiga jenis hubungan, yaitu:

  1. Penguasa, yang berkuasa di pelabuhan-pelabuhan yang ber­dekatan dengan sungai-sungai besar, yang dapat mengenda­likan pergerakan dari daerah pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya:
  2. Produsen, dalam bidang kehutanan, pertanian, dan pertam­bangan di daerah pedalaman yang membawa kemakmuran bagi kerajaan;
  3. Pelaut kerajaan yang kadang-kadang independen, yang me­lindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang jahat. Mengawaki kapal armada dagang, dan dalam kasus Sriwi­jaya, membentuk angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.Hubungan ini—yang biasanya mclibatkan orang-orang berlain­an budaya, suku, dan loyalitas—disatukan tidak hanya dengan aliansi formal yang dibuat di bawah sumpah, tetapi juga dengan berbagi barang-barang rampasan dari perdagangan mancanega­ra yang saling menguntunakan. Sistem tersebut sangat rapuh ka­rena jika keseimbangan tersebut terganggu—jika perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun—produsen akan mcna­han produknya, atau bahkan mencari pasar yang lain. Atau. seper­ti yang mungkin terjadi pada Kan-to-li, para pelaut kemungkinan telah mcngkhianati sumpah mereka dan pergi berlayar mencari peruntungan yang lebih baik, atau kembali ke kehidupan lama mereka sebagai bajak laut yang tak mengenal susah.
Penerus Kan-to-li di sebelah tenggara Sumatra, yaitu Sriwijaya, kemungkinan mengalami peningkatan kemakmuran seperti layak­nya daerah-daerah lain karena sistem persimpangan Sungai tradi­sional. Tetapi terdapat faktor penting yang membedakan Sriwijaya dengan daerah-daerah lainnya. Seraya membentuk aliansi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan tetangga untuk melindungi wila­yah pertahanannya, Sriwijaya sendiri membangun angkatan pe­rang yang kuat yang terdiri dari prajurit untuk melakukan "pende­katan", dan bila perlu, memaksa penduduk pedalaman untuk meng­hormati kesepakatan mereka.

Pada saat yang sama, Kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Pa­lembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun "Ang­katan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut Nomaden" yang lebih kuat daripada wilayah-wilayah tetangganya. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menunjukkan kekuatan yang dimilikinya. In­skripsi itu menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra—sebuah proses menuju "kekuatan supernatural"—dengan 20.000 prajurit yang mengelu­-elukannya, yang ditugaskan di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya, Kerajaan Melayu (sekarang Jambi), dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari. Ekspansi yang didukung oleh kekuatan semacam itu tidak pernah terjadi sebelumnya dan Sriwijaya tidak berhenti hanya sampai di Jambi.

Meskipun ada dugaan bahwa angkatan laut Sriwijaya disusun dari golongan orang laut yang tinggal di pulau-pulau dekat pantai, bukan demikian yang sesungguhnya terjadi. Jika orang laut yang dimaksud di milenium pertama adalah orang-orang yang secara relatif masih primitif, individualistik, kelompok pelaut nomaden yang belakangan tinggal di sekitar Selat Malaka sampai Kepulauan Lingga, tidak mungkin mereka dapat mengerahkan kedisiplinan dan kekuatan untuk menciptakan angkatan laut yang terkoordi­nasi seperti yang dibutuhkan Sriwijaya.

Tetapi, jika angkatan laut tersebut tidak dibentuk dari para pe­laut lokal, lalu siapakah mereka sebenarnya?

Untuk bertahan hidup di wilayah kepulauan, sebagian besar orang Indonesia telah mengasah kemampuan mengarungi lautan sebagai dasar untuk bertahan hidup sejak zaman dulu. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Kehandalan bangsa Melayu seba­gai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudra dalam waktu yang panjang." Catatan yang dibuat pada abad ke-3 menceritakan kapal-kapal yang berlayar dari Filipina menyeberangi lebih dari 800 mil lautan lepas mcnuju Funan; tiga ratus tahun kemudian. Utusan-utusan Cina berhasil mencapai Se­menanjung Malaya dengan menggunakan kapal "barbar". Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun.

Lalu, siapa sebenarnya orang-orang yang mengawaki kapal-ka­pal kuno tersebut?

Mengejar hantu berusia dua ribu tahun terbukti hanya mem­buang-buang waktu percuma. Oleh karena itu, daripada mencoba menarik kesimpulan dari bukti arkeologi yang tidak memadai dan referensi Cina yang tak jelas, mungkin kita bisa mendapat lebih ba­nyak informasi tentang mereka dengan mempelajari cara berlayar sepanjang masa, dan mencoba memperkirakan apa yang terjadi pada masa lampau.

Ada beberapa kelompok pelaut nomaden yang bertahan di seluruh pelosok kepulauan yang mcrupakan keturunan pelaut-pe­laut masa lampau yang patut untuk digali keberadaannya. Salah satunya yang cukup dikenal dan tampak nyata adalah Mawken, yang berasal dari kelompok manusia-perahu, yang karena posisi mereka di sepanjang pantai Semenanjung Kra, kemungkinan memiliki pengaruh yang kuat di wilayah tersebut. Tetapi, meskipun Mawken digambarkan sebagai "pelaut yang paling handal di muka bumi", perahu-perahu mereka—yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi—berukuran kecil, dan mereka menurut pengamat­an orang pada abad ke-18 merupakan penduduk asli yang pemalu dan langsung berpencar dan bersembunyi di hutan-hutan bakau jika melihat orang asing. Menurut salah satu cerita mengenai asal­-usul mereka, mereka tinggal di lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun, dan lain-lain. Tetapi karena terus-menerus di­ganggu oleh para tuan tanah Birma dan Malaya, mereka akhirnya meninggalkan lahan mereka untuk tinggal secara permanen da­lam perahu-perahu kano yang menjelma menjadi rumah terapung yang mereka beri atap. Mereka tidak memiliki sejarah tentang pe­rahu-perahu besar yang mampu berlayar mengarungi samudra, sehingga dapat diabaikan.

Di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatra, terdapat sejumlah besar "Orang Laut" yang lain: Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik, Orang Moro, Orang Sugi, dan lain-lain. Mereka yang terbagi-bagi dalam lusinan suku yang lebih kecil, tak diragu­kan lagi memiliki peran yang penting ... tetapi mereka kcmungkin­an hanya tcrdiri dari kumpulan-kumpulan kccil yang bersembunyi di hutan-hutan bakau dan muara-muara di pulau-pulau keeil yang tak terhitung banyaknya—yang merupakan ancaman bagi para pe­lintas yang kurang waspada dan lebih baik dihindari. Seperti hal­nya Mawken, menurut cerita-cerita yang santer tentang mereka, mereka tidak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorga­nisasi yang dapat mengarungi samudra menuju India dan Afrika. Mereka lebih mirip seperti kelompok yang bisa disebut orang laut, kelompok Ma-lo-nu dari Sarawak yang menurut riwayat Cina, para pemimpinnya melubangi gigi emasnya serta makan dan minum dari tengkorak manusia, dan "... merupakan kelompok orang-orang liar, yang menangkap kapal karam, memanggang awak kapal yang karam tersebut di atas api dengan menggunakan penjepit bambu yang besar dan memakan mereka".

Jauh di sebelah timur kepulauan, antara Sulawesi dan Minda­nao terdapat suku Samal yang gemar berperang yang memiliki pe­rahu besar sejenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal pe­rompak berjenis tersebut. Kapal terbesar digambarkan memiliki panjang 80 kaki dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 70 kaki, lebar 12 kaki, dengan awak berjumlah 40 orang, dan membawa empat hingga enam sen­jata. David Sopher menulis dalam bukunya, "Perangkat kapal ba­jak laut milik orang-orang Illanun dan Samal adalah tepian panda yang digunakan untuk mendayung seperti bireme Mediterania pa­da zaman dulu, yang pada kapal bajak laut maupun kapal perang memiliki persyaratan kecepatan dan kapasitas yang lama untuk membawa pasukan perang dalam jumlah besar seperti kapal pe­rompak bangsa Moro."' Kapal sejenis kora-kora mampu mclaku­kan perjalanan di laut lepas, sesuai perkiraan kita tentang hubungan kapal semacam itu dengan sangara pada masa Pliny. Tetapi, kapa­sitas angkutnya lebih kecil, dan para pemiliknya kemungkinan lebih tertarik dengan profesi bajak laut warisan dari masa lalu da­ripada berkecimpung dalam pelayaran jarak jauh yang dibutuh­kan oleh Sriwijaya.

Kemudian, terdapat orang Bajau yang terkenal, yang merupa­kan bangsa pelaut nomaden yang telah tersebar di segala penjuru kepulauan.

Tampaknya sudah sejak lama bangsa Bajau atau Bajo menja­lani kehidupan sebagai salah satu pelaut handal yang keberadaan­nya tersebar di Kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Sejarah mereka masih samar-samar, tetapi dengan meli­hat dari jumlah tempat yang mengenal nama "Bajau", "Bajo", "Baja", "Waju", atau "Bajoo", mereka tampaknya tersebar di mana-mana. Toponim "Bajo" dapat ditemukan dari ujung ke ujung Kepulauan Indonesia: dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah timur—sebuah wilayah yang sa­ngat luas yang berjarak 2.500 mil dari barat ke timur dan 1.000 mil dari utara ke selatan. "Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan. Berlayar di laut lepas mcrupakan hal biasa bagi mereka—mereka mengarungi laut seperti layaknya burung-­burung laut," kata seorang pelancong bernama Raymond Kenne­dy, bertahun-tahun yang lalu.

Yang terpenting, asal-usul orang Bajo yang misterius itu sangat erat kaitannya dengan bangsa pelaut lain, antara lain bangsa Bugis (terkadang ditulis Bugi atau Buki), orang Mandar, dan orang Ma­kassar. Jika keberanian mereka di masa sekarang mencerminkan keberanian di masa lalu, dapat dipastikan mereka memiliki prasya­rat untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun yang lalu.

Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi, yang merupa­kan wilayah yang sama dengan orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki jalinan kekerabatan yang dekat dengan "orang-orang Wugi" tersebut. Pada 1885, Bastian menulis tentang peran orang Bajo dalam pembentukan wilayah politik (kerajaan) pertama di Sulawesi: "Tradisi (mereka) mengacu pada masa-masa awal pseudo sejarah orang Bugis dan Makassar, pada periode dongeng ketika kelompok penguasa diturunkan dari surga, memerintah selama tujuh generasi, dan kemudian menghilang. Mungkin karena mereka telah memasuki periode penetrasi budaya Hindu-Jawa." Dari penjelasan tersebut, tampaknya mereka berasal dari garis ketu­runan yang amat kuno yang mapan pada zaman Sriwijaya.

Meskipun punya hubungan dekat dengan orang-orang Bugis dan Makassar, kebiasaan-kebiasaan orang Bajo cukup bervariasi di setiap tempat mereka tinggal. Sebagian besar dari mereka, mi­salnya orang Mawken, menganggap perahu kecil sebagai rumah mereka. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan meninggal di atas pera­hu, mencari penghidupan di muara-muara berair dangkal di pulau­-pulau terpencil tempat tinggal kawanan buaya. Di sana, mereka menangkap ikan, kura-kura, dan burung merpati. Sebagian yang lain berkelana hingga ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, yang dihargai tinggi di Cina bagian selatan karena kelezat­annya. Orang Bajo yang lebih kaya tinggal di kapal yang disebut vinta, kapal bercadik yang memiliki tiga atau empat penyangga. Seperti halnya stink-pot yang pada masa kini terdapat di marina-marina di seluruh dunia, vinta "ditujukan hanya sebagai tempat hunian"; sebuah tempat tinggal untuk keluarga yang tidak pernah meninggalkan sauhnya. "Tak ada angin, tak ada ombak," kata orang-orang Bajo sambil tersenyum, "kapal itu tetap bergoyang!"

Beberapa orang Bajo membentuk hubungan baik dengan orang-­orang dari kasta yang lebih tinggi di pulau-pulau besar yang lebih maju, dengan cara menyediakan ikan-ikan untuk mereka, meng­antarkan pesanan dari pulau ke pulau, dan bertindak sebagai kuli yang membawa barang dagangan. Orang-orang Bajo yang berada di daratan ini "berburu" di lahan seperti halnya mereka berburu ikan di laut; mereka menanam padi dan tanaman lainnya, juga menjaga kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain. Beberapa dari mereka membangun rumah panjang untuk keluarga besar mereka, sedangkan para pelaut nomaden yang sesungguhnya­—jika mereka harus tinggal sementara di pantai—akan membangun pondok di pantai yang bentuknya lebih kasar, dan hanya untuk di­tempati oleh keluarga inti. Biasanya, perkampungan orang Bajo dapat ditemukan di pulau-pulau terpencil atau tanjung-tanjung yang berjarak satu atau dua hari dari pasar terdekat tempat mere­ka menjual ikan-ikan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa senjata, dan sering diganggu oleh para bajak laut. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan taktor itulah yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa "Bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk tetap berkelompok, dan menyingkir menca­ri tempat tinggal lain jika diganggu."

Bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang Bugis yang merupakan "sepupu" mereka, mengalami per­ubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka de­ngan bangsa-bangsa lain. Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pu­lau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat. Hal ter­sebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi ke­hidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami per­ubahan. Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu de­ngan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: "sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadop­si bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan."

Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Ma­kassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memi­liki kekerabatan yang mendominasi "dunia perahu", masing-ma­sing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan kata khusus itu terbentuk selama berta­hun-tahun; dengan demikian, beragamnya jenis kapal mcnunjuk­kan adanya pengembangan secara bertahap selama periode yang lama, dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya hi­dup yang mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan Bugis telah berkelana sampai ke tcmpat yang jauh.

Jika orang-orang Bajo telah berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh dan merupakan nelayan dan pedagang yang terampil, orang Bugis memiliki kemampuan yang membuat mereka pantas menjadi pemimpin angkatan laut di wilayah tersebut. Seorang sosiolog pernah menggambarkan struktur sosial bangsa Bugis seba­gai bangsa yang "sentrifugal". Mereka "mengirim anggota-anggota mereka pergi keluar lembah dan pulau tempat mereka tinggal, se­cara temporer atau selamanya, ke dunia luar, dan mereka bekerja keras mencari kebijaksanaan dan kekayaan .... untuk bangsa Bugis, pergi merantau sama normalnya dengan menikah." Sentrifugalis­me ini sangat kontras dengan masyarakat "sentripetal", seperti orang-orang Bali atau Toraja, yang anggota masyarakatnya "dita­rik ke dalam dan terjerat dalam jaring kewajiban-kewajiban yang ada dalam masyarakat, kekerabatan, dan ritual". Hal itu merupa­kan latar belakang sosial yang sempurna bagi para perantau dan penjelajah."

Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai repu­tasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, amber­gris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina ba­gian selatan. Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal Pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan meme­nuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 Pinisi masih membawa kayu dalam rute re­guler dari Kalimantan ke Jawa.

Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pela­buhan di Indonesia. Pada abad ke-17, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa‑masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana. Pada 1792, seorang pelancong menyatakan bahwa "Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun untuk berda­gang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai tela­dan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya."

Empat puluh lima tahun kemudian, seorang penulis bercerita tentang bangsa Bugis yang membentuk koloni di India: "... dalam hal kejujuran, kepribadian, dan perilaku, mereka jauh lebih unggul daripada bangsa Melayu. ...” Orang asing menganggap bangsa Bu­gis sebagai bangsa perompak. Seorang Cina berkata bahwa orang­-orang Bugis 'suka berpikir dan bertindak menuruti kemauan sen­diri, dan mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar'. Tanpa bermaksud untuk menentang pendapat itu, selama saya berkunjung ke India, saya tidak pernah satu kali pun mendengar adanya pemba­jakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis. Bahkan, sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa peristiwa yang justru membuk­tikan bahwa mereka cenderung bersikap sebaliknya."

Peta asal Belanda yang dibuat pada abad kc-18 dan digambar kembali o1eh navigator Bugis, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah berhasil mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya menggantung dari India seperti pukat/jaring yang dapat menangkap semua pergerakan yang tcrjadi antara Asia Ti­mur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk kapal mereka yang lebih mirip dengan kapal Indonesia dibandingkan dengan kapal India atau Arab, diperkirakan hubungan itu sudah berlang­sung sejak jaman dulu."

Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa bangsa Bugis, sam­pai dengan saat ini, adalah bangsa pelaut yang luar biasa. Pemim­pin yang baik, pelaut ulung, pedagang yang jujur, senang berpe­tualang, dan prajurit perang yang baik. Pada masa lampau, mungkin mereka adalah bajak laut yang kejam dan suka memenggal kepala lawannya. Tetapi jika sewaktu-waktu seorang penguasa kerajaan Indonesia membutuhkan sebuah armada yang dikelola pelaut pa­ling hebat yang pernah ada, tak ada yang melebihi kehebatan pe­laut Bajo atau Bugis, atau gabungan dari keduanya. Jika muncul kebutuhan semacarn itu, bangsa Bugis dan keturunan mereka akan terpilih menjadi orang-orang yang paling dipercaya. Kelom­pok inilah yang paling mampu melayani kerajaan-kerajaan tua di Indonesia dengan baik, khususnya Sriwijaya. Dan dalam kasus perjalanan ke Afrika, mereka (bangsa Bugis) adalah orang Indo­nesia yang paling mungkin terlibat.

Ada pendapat lain yang mendukung hipotesis ini. Sebuah in­skripsi tua Melayu yang berasal dari Palembang dan Pulau Bang­ka menceritakan siddhayatra yang agung, ketika Raja Sriwijaya melakukan pencarian "kekuatan supernatural". Isinya tidak dapat secara langsung kita pahami, tetapi bahasa yang digunakan da­lam inskripsi itu sangat penting. Fakta ini ditemukan olch Alexan­der Adelaar ketika sedang mempelajari asal-usul bahasa Madagas­kar. Dengan memerhatikan kemiripan antara bahasa Malagasi clan Melayu, ia membandingkan istilah-istilah dalam bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Malagasi, lalu menarik kesimpulan: "Isti­lah-istilah dalam inskripsi tersebut menunjukkan bahwa migran Malagasi pada masa lampau melakukan hubungan dengan Su­matra Selatan ...... Lebih jauh lagi, lanjutnya, "Bukti-bukti tersebut memperkuat hipotesis yang telah disebutkan di atas bahwa bebe­rapa kalimat dalam bahasa yang tak dikenal (yang menunjukkan kemiripan dengan bahasa-bahasa Barito) yang tertera pada in­skripsi bangsa Melayu di Sumatra Selatan pada abad ke-7 M ada­lah sejenis bahasa pra-Malagasi."

Pentingnya bukti-bukti itu akan terkuak jika kita mulai melihat hubungan antara Madagaskar dan Afrika. Tetapi, selain memper­kuat dugaan kaitan antara Sriwijaya dan Madagaskar, bukti-bukti itu juga memperlihatkan adanya hubungan antara Sriwijaya dan Sulawesi/Kalimantan. Bahasa-bahasa Barito yang disebut olch Adelaar (diambil dari nama sungai di Kalimantan Selatan) yang memiliki kesamaan, tidak saja dengan bahasa Malagasi modern, tetapi juga dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Barat Da­ya, yang merupakan kampung halaman bangsa Bugis, Bajo, dan Makassar.

Meskipun belum sepenuhnya jelas, semua bukti menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Kerajaan Sriwijaya, demikian juga keter­kaitan bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskar dan—lebih luas la­gi—dengan Pantai Timur Afrika.

(Sumber : Buku Penjelajah Bahari, oleh Roberth Dick-Read, Halaman 88-103)
Sabtu, 19 Desember 2009

Bab ini merupakan ringkasan artikel Christian Pelras yang diterbitkan dalam majalah Archipel pada l997, dengan judul "La premiere description de Celebes-Sud en francais et la destinee remarquable de deux jeunes princes makassar dans la France de Louis XIV" (Pemerian pertama mengenai Sulawesi Selatan dalam bahasa Prancis dan nasib menakjubkan dua orang pangeran Makassar di Prancis pada masa Louis XIV).

Dalam abad ke-17, masih sedikit sekali orang Prancis mengunjungi Makassar; yang paling terkenal di antaranya adalah Pierre Berthelot, Alexandre de Rhodes, Joseph Tissanier, dan Daniel Tavernier, saudara laki-laki Jean-Baptiste Tavernier. Pierre Berthelot tiba di Makassar tahun 1622 sebagai kelasi kapal pengawas kecil Hermitage, salah satu kapal armada Beaulieu dan menetap di sana selama tiga tahun, bekerja untuk kantor dagang Portugis, lalu pergi ke Goa dan mati sebagai martir di Aceh tahun 1638. Sekembalinya dari Tiongkok scoring jesuit, Alexandre de Rhodes menetap selama delapan tahun di Makassar. Pastor Tissanier singgah di sana tahun 1661. Para pengikut Huguenot yang diasingkan di Prancis setelah pencabutan Edit de Nantes merupakan satu-satunya bangsa Prancis yang diizinkan Belanda untuk menjalani kegiatan di wilayah kekuasaan mereka karena semenjak kekalahan Makassar tahun 1666, baik Prancis, Inggris, Portugis, maupun Denmark tidak boleh membuka kantor dagang di Makassar.

Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim para pangeran muda untuk melengkapi pendidikan mereka di dalam kerajaan atau keluarga bangsawan asing, selaku pemuda ningrat yang dilatih dalam pengetalman militer pada usia lima atau enam tahun hingga masa remaja. Dua dari anak pemuda ningrat itu adalah putra Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran dari Makassar yang hidup dalam pengasingan di kerajaan Siam. Tapi sebagai penganut muslim, Daeng Mangalle dituduh bersekongkol melawan Raja Siam dan tewas saat pertempuran sengit yang telah dikisahkan pada bab sebelumnva, September 1686. Di antara mereka yang hidup, terdapat dua orang pangeran. Daeng Ruru yang berusia 15 tahun dan Daeng Tulolo, 16 tahun. Kepala kantor dagang Prancis di kerajaan Siam memutuskan untuk mengirim keduanya ke Prancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. Louis XIV tidak hanya merasa wajib memenuhi kebutuhan hidup mereka tapi juga mengurus pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran tersebut.

Kedua pemuda muslim itu terlebih dahulu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan Louis seperti Raja Prancis. Mereka didaftarkan ke kolese jesuit di Louis le-Grand untuk mempelajari bahasa Prancis sebelurn diterima di sekolah tinggi Clermont yang terkenal. Setelah itu mereka diterima di salah satu institusi Prancis paling bergengsi, sekolah perwira angkatan laut Brest yang pada 1682 menjadi cikal-bakal sekolah angkatan laut, sekolah marinir tertinggi di Prancis. sekolah itu dibagi ke dalam tiga kompi, masing-masing berisi 300-350 taruna. Tahun 1690, hanya 206 calon taruna yang diterima karena penerimaannya benar-benar selektif. Untuk dapat diterima, para calon taruna harus berusia kurang daripada 18 tahun dan berasal dari kalangan elit aristokrat di negaranya. Sekolah itu merupakan pencetak perwira yang dipilih secara teliti dan memiliki pendidikan kelautan dan militer terbaik. Fakta bahwa Daeng Ruru dapat diterima dalam institusi itu membuktikan perhatian yang diberikan Raja Prancis pada kedua pangeran asing tersebut. Kedua taruna ini tidak hanya menjadi amat sulit diatur tapi juga merasa lebih tinggi daripada yang lain vang tentunya sesuai dengan seorang Makassar yang berdarah biru. Mereka memandang perwira lain sama terhormat dan sama pintar dengan mereka tetapi berasal dari kelas yang rendah.

Orang terkejut dengan cepatnya promosi Daeng Ruru muda yang lulus sebagai perwira angkatan laut hanya selang dua tahun ia bersekolah. Ia berusia 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda yang setara dengan letnan di angkatan darat; dan berusia 20 tahun saat menjadi letnan angkatan laut. yang setara dengan kapten angkatan darat. Untuk maju dalam karir itu, ia harus benar-benar cerdas juga berharta. Makanya tunjangan keuangan dari kerajaan kepada Daeng Ruru benar-benar diperlukan. Kendati kemajuannya yang cepat, pada 1706 Louis Pierre Makassar mengajukan keluhan dalam suatu surat yang ditujukan kepada de Pontchartrain, menteri kelautan kerajaan Louis XIV, karena tidak di ikutsertakan dalam pelavaran operasi angkatan laut yang akan dilaksanakan.

Akhirnya, 3 Januari 1707, pangeran dari Makassar itu dapat berlayar dan bertugas di kapal Jason, sebuah kapal bersenjatakan 54 meriam dengan tugas memburu kapal penyerang Belanda Vlisingen yang menyerang kawasan laut Belle-ile dan ile de Croix. Kapal itu milik armada laut Laksamana Duquesne. Tak lama setelah itu, Daeng Ruru ditunjuk untuk bertugas di kapal Grand yang akan ambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada tanggal 19 Oktober1707,, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19 Mei 1708, Daeng Ruru tewas: entah karena masalah kehormatan atau perkara utang judi. Sehubungan dengan adik bungsunya, Daeng Tulolo, alias Louis Dauphin Makassar. Kamus Moreri mengungkapkan kisah yang aneh, "Salah satu dari kedua bersaudara itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah mengetahui kematian sepupunya, pulang dari Prancis untuk mengambilalih takhta moyangnya dan raja mengizinkannya naik kapalnya. la terlihat amat tekun menjalankan agama Katolik, dan bahkan sebelum meninggalkan Paris ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan untuk Perawan Suci, dan mendirikan ordo yang disebut "bintang", di mana para satrianya harus mengenakan pita putih yang ia tempatkan di bawah perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre-Dame tapi beberapa tahun kemudian, gambar itu diturunkan setelah orang tahu bahwa pangeran itu telah memeluk agama moyangnya dengan alasan poligami". Kendati begitu, kenaikan pangkat Daeng Tulolo lebih lambat daripada abangnya. Ia lulus dari sekolah angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum diangkat menjadi letnan muda pada usia 38 tahun, pangkat yang disandangnya seumur hidup. Ia bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Brest 30 November 1736 pada usia 62 tahun, “Ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut". Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat Perang Dunia II.

(Sumber : Buku Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 123-125)

Daeng Mangalle, seorang pangeran Makassar rupanya terlibat dalam konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang-orang Islam lain di Ayuthia, yang berencana menyerang dan menjarah istana kerajaan, lalu membunuh raja saat kembali dari perjalananya ke kota Lopburi, dan mengubah agama saudara tiri Phra Narai sebelum memproklamirkanya sebagai Raja Siam. Namun, raja telah mengetahui konspirasi tersebut dan segera memperkuat pertahanan istananya dengan mendesak dukungan pasukan Prancis yang berpusat di Bangkok, dan orang asing lain yang berdiam di kerajaannya. Orang Melayu dan Campa dengan segera memohon pengampunan dari kerajaan dan sebagian besar mendapatkannya dengan beberapa perkecualian. Ternyata masih perlu untuk memotong kepala beberapa orang dan memamerkannya di atas tongkat untuk menjadi contoh bagi penduduk. Hanya Daeng Mangalle yang menolak memohon pengampunan dari raja dengan menyangkal bahwa dia yang memulai komplotan dan tidak ikut serta di dalamnya. la juga menambahkan bahwa dengan gelarnya sebagai Pangeran Makassar, ia tidak mungkin bertindak sebagai pengadu tapi lebih suka bertempur dengan teman-teman setanah airnya, terbunuh secara terhormat dan membawa mati rahasia yang boleh jadi dia tahu mengenai komplotan itu. Daeng Mangalle berujar pada raja: "Mengenai orang yang telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak memercayainya sedikit pun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama."

Akibatnya, selama satu bulan wilayah kampung Makassar dikepung oleh pasukan Siam, tapi raja mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya memutuskan menggunakan kekuatan militer untuk memerangi masyarakat Makassar yang kepala batu itu.

Forbin yang memimpin garnisun Prancis di benteng Bangkok menerima perintah raja untuk memblokir dua tempat keberangkatan perahu Makassar yang berniat meninggalkan kerajaan Siam dan mengumpulkan kembali awak kapalnya. Muslihat yang disodorkan pada Forbin adalah "Berpura-pura menggeledah kapal dengan alasan keadaan darurat yang melanda negara, dan dengan dalih mencari orang yang dianggap buronan Siam, melucuti dan menghentikan semua awak kapal, menurunkan mereka ke darat, membawa ke benteng, dan memenjarakan mereka di sana." Seuntai rantai yang direntangkan melintasi sungai mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang Makassar datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras badik mereka dilucuti dan disita. Seorang perwira tua Portugis yang bergabung dalam pasukan Prancis mengingatkan Forbin, "Orang-orang itu tidak dapat ditundukkan, oleh karena itu kita harus membunuh mereka untuk menguasai mereka. Terus terang saja, jika Anda sampai ketahuan ingin menangkap kapten yang berada dalam anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan Seorang pun hidup.”


Prajurit Makassar sedang meluncurkan panah dengan sumpitan

Forbin mengira ia cukup dikawal dengan sepuluh prajurit Siam yang bersenjatakan tombak dan sepuluh prajurit lainnya dengan bedil untuk memeriksa enam orang Makassar yang hanya bersenjatakan badik. "Saya memerintahkan seorang pejabat Siam untuk pergi menyampaikan kepada kapten Makassar bahwa saya merasa tersiksa karena dapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia akan dapat perlakuan baik dari Saya.” Saat kata pertama terlontar dari mulut pejabat Siam itu, sambil mencampakkan topi kain mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus badik dan menyerbu membabi-buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si pejabat Siam dan enam orang rekannya yang ada dalam paviliun."

Forbin sendiri lolos dari maut. Empat orang Makassar terbunuh, sementara dua lainnya terluka dan kapten mereka berhasil lolos. "Tuan Beauregard, kapten berkebangsaan Prancis, ketika melihat bahwa kapten Makassar itu tertembak, beberapa peluru dan sekarat, melarang sersannya untuk membunuhnya. la mendekati kapten itu dan merampas badik-nya. Tapi Beauregard menarik sarungnya, bukan gagangnya dan kapten Makassar yang nyaris mati itu masih punya cukup kekuatan menghunus badik dan merobek perutnya."

Forbin memanggil bala bantuan pasukan yang terdiri atas empat puluh orang Portugis yang dipimpin oleh seorang kapten berkebangsaan Inggris yang tanpa menunggu perintah Forbin membawa pasukannya maju melawan orang-orang Makassar.


Seekor gajah Siam dikenakan pakaian perang

“Segera raja keempatpuluh tujuh orang Makassar yang sampai saat itu jongkok dengan cara mereka, tiba-tiba bangkit dan dengan melingkari lengan kiri mereka dengan sejenis kain selempang yang biasanya mereka lilitkan di pinggang atau di kepala, mereka menerjang orang Portugis dengan badik di tangan, kepala menunduk, dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-­orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari situ, mereka mendesak ke arah pasukan yang saya pimpin tanpa kehabisan napas, meski saya memiliki seribu lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil. Orang-orang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka dan membunuh semua yang dapat mereka jangkau, benar-benar pembantaian yang mengerikan. Dalam keadaan yang kalang-kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng baru. Enam di antara mereka, yang paling nekat, mengejar pasukan yang kabur dan masuk ke dalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok benteng kecil persegi empat. Mereka melewati benteng di sisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan, dengan membunuh tanpa memandang usia dan jenis kelamin, wanita, anak-anak, dan semua yang ada di hadapan mereka.”

Sementara itu, orang-orang Makassar yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka kembali ke kapal untuk mencari tombak dan perisai sekaligus menyalakan api di kapal untuk menunjukkan ketetapan hati mereka untuk bertempur. Mereka menyusuri tepian sungai, melempari rumah-rumah dengan api dan menebarkan teror di mana­-mana. Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh semua biarawan di sana, lalu bersembunyi di balik rerumputan tinggi, di mana mereka dihalau dan dirubuhkan dengan bedil. Dalam pertempuran itu saja, pasukan Eropa-Siam telah kehilangan 366 orang... belum lagi korban penduduk, sipil, sedangkan korban di pihak Makassar hanya tujuhbelas orang. Selama tiga minggu orang-orang Makassar itu terkepung di tengah hutan yang digenangi air pasang dan hanya keluar sebentar untuk mencari makanan berupa sayuran dan buah-buahan di kebun di sekitarnya. Forbin berpikir bahwa saatnya.sudah tiba memberikan pukulan terakhir, karena mereka mustahil bisa merawat luka-luka mereka dan tentu sangat lemah. Hanva tersisa tujuhbelas orang yang selamat. Forbin mengepung hutan dengan duaribu prajurit Siam. la mengusulkan kepada orang Makassar itu untuk, menyerah, tapi mereka "Melompat ke dalam air, dengan badik di mulut, mereka berenang untuk menyerang kami. Orang-orang Siam yang mendapatkan keberanian dari pidato dan contoh yang saya tunjukkan, melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang putus asa itu, hingga tak ada satu pun yang selamat. Demikianlah akhir petualangan menyedihkan, yang selama satu bulan membuat saya luar biasa lelah, nyaris kehilangan nyawa serta menyebabkan saya membunuh begitu banyak orang."

Sementara itu, 23 September 1686, di Ayuthia tigapuluh hingga empatpuluh orang Makassar yang sudah jadi penduduk setempat diundang ke istana untuk bermusyawarah tapi sekali lagi menolak menanggalkan badik mereka dan senjata lain sebelum menghadap raja. Dengan mudah menduga niat pihak kerajaan, mereka pun menolak dilucuti sebelum pembicaraan dimulai. Kapten mereka, Daeng Mangalle tetap saja herpura-pura tidak bersalah dan tidak merasa perlu meminta pengampunan dari raja. Karena sebelumnya telah diberitahu mengenai komplotan itu tapi tidik mengambil bagian secara langsung di dalamnya, kapten itu hanya dituduh bersalah karena tidak memberitahu raja. Kehormatan mencegahnya untuk bertindak sebagai pengadu dan sebagai mata-mata terhadap teman-temannya seagamanya. Di malam 23 September, raja memerintahkan beberapa ribu prajuritnya mengepung kampung Makassar di Ayuthia, diperkuat dengan dua kapal perang, duapuluh dua kapal dayung dan enampuluhan kapal kecil yang menyeberangi sungai. Melihat persiapan itu, orang-orang Makassar paham bahwa serangan sudah dimulai. Semua tahu tidak ada kemungkinan lain untuk mereka kecuali bertempur sampai mati dan banyak di antara mereka membunuh istri dan anak-anak mereka sendiri agar terhindar dari penjara dan perbudakan. Tanda serangan diberikan jam 4.30. serangan pertama gagal dan sebagian besar penyerang tewas. Kapten Inggris, Coates, yang memimpin kapal perang Siam, setelah melemparkan bola-bola api untuk membakar rumah-rumah, mengira telah herhasil menaklukkan semua perlawanan dan mencoba mendarat dengan sekitar selusin orang Inggris dan seorang perwira Prancis. Orang-orang Makassar menggali parit untuk berlindung dan keluar dari situ untuk melancarkan serangan balasan. Coates mendapat hantaman di kepalanya hingga terlempar ke air dan karena berat baju zirahnya, ia tenggelam. Sementara itu, perwira Prancis tadi selamat karena bisa berenang. Bala bantuan dari orang-orang, Makassar datang dan bergerombol di antara pepohonan bambu sebelum keluar lagi untuk menggempur habis-habisan di bawah pengaruh, tulis Pastor Tachard, gumpalan-gumpalan candu "yang membuat mereka mengamuk dan melenyapkan semua pikiran dan keinginan lain kecuali membunuh atau dibunuh". Pasukan Siam sekali lagi harus mundur dan menunggu bantuan baru dari empatratus orang. Pasukan Siam berjumlah tigaribu prajurit yang didahului dengan delapanratus mousquetaires (prajurit bersenjatakan bedil). Forbin menjelaskan suasana serangan dan taktik yang diterapkan untuk gerak maju pasukan-pasukan itu.

Karena wilayah itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan di dalam air setinggi separuh tungkai, jenderal Siam suruh nuat raringan kisi-kisi yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau ... Peralatan ini, yang bergerak di depan pasukan, dibenamkan ke dalam air... Orang Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa melihat di mana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa maju maupun mundur. Kami lalu membunuhi banyak di antara mereka dalam keadaan berdiri dengan berondongan bedil.

Kami terus menghalau musuh dari satu pemukiman ke pemukiman lain, setelah membakarnya terlebih dahulu. Kami mendengar jerit mengerikan para wanita yang terbakar dalam rumah mereka. Mengenai yang pria, mereka baru keluar pada saat terakhir dan menyerang membabi-buta dengan senjata tajam guna bertempur sampai mati. Daeng Mangalle sendiri terluka lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak, langsung menerjang menteri Siam, membunuh seorang Inggris yang berada di sebelahnva dan rubuh tertembak oleh seorang Prancis. Putra sulung Daeng Mangalle yang masih berusia 14 tahun ketika melihat ayahnya terkapar di tanah, melemparkan senjatanya ke kaki menteri yang membiarkan anak itu hidup. Akhirnya pertempuran itu berakhir jam tiga Siang dengan menyerahnya 22 orang Makassar dan 33 mayat prajurit mereka dikumpulkan dari medan pertempuran. Selama dua atau tiga hari, kami memburu mereka yang masih hidup. Orang-orang Siam tidak memberi ampun pada tawanan mereka. Kebanyakan mereka disiksa dengan kejam: pasak ditancapkan menembus kuku, tangan dibakar, pelipis dijepit dengan dua papan, sebelum di ikat di tiang untuk santapan harimau. Tachard menambahkan bahwa orang-orang yang memegang senjata di tangan mereka dipenggal dan kepalanya dipamerkan di depan rakyat jelata. Beberapa dari mereka dikubur hingga leher, lalu mati setelah dicemooh dan dihina penonton yang tidak punya belas-kasihan. Sementara anak-anak dan wanita, yang tidak terbunuh dalam penyerangan atau terbakar dalam rumah, dijual sebagai budak.


Prajurit Bugis dari Makassar

Peristiwa dramatis itu membuat penduduk, terpana dan kagum akan perlawanan tak terperikan dan gagah berani yang ditunjukkan oleh suatu masyarakat kecil yang terdiri dari sekitar duaratus orang asal Makassar dan hanya bersenjatakan tombak dan badik, berhadapan dengan tentara yang berjumlah ribuan prajurit Siam, dibantu oleh empatpuluhan orang Prancis, beberapa orang Inggris, dan orang asing lainnya. Selama pertempuran, tidak kurang daripada seribu orang Siam dan tujuhbelas orang asing tewas.

(Sumber : Buku O
rang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 113-121)

Jika di Bone dikenal Lapawowoi, Lasinrang di Sawitto, maka di Mandar kita kenal Ajuara Topole di Juppadang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo Banggae dan Pamboang, Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa, La'langi Parimuku, Pattolo' Pattana Sompa, Ka'mundri (Kali Pondhi) Kadhi Adolang.

Sebelum kita tiba kepada sejarah perlawanan mereka kepada Belanda ada baiknya jika penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) memperlihatkan silsilahnya (Lihat Lampiran). Jika melihat silsilah ini, maka jelas terlihat bahwa pahlawan-pahlawan itu masih keturunan Puang (bah. Ind. Bangsawan). Jadi penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) berpendapat bahwa kepemimpinan Bangsawan pada masa dahulu masih sangat diperlukan, dalam memimpin suatu perjuangan baik perlawanan terhadap Belanda maupun terhadap perjuangan-perjuangan lainnya. Sekitar tahun 1894 Kerajaan Pamboang diperintah oleh Ajuara gelar To Pole di Juppadang. Gelar ini diperoleh karena beliau sempat diasingkan ke Ujung Pandang dan ditawan di BALLA' TINGGIA.

Menurut keterangan dari Jalani Pua' Tammasala yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini bertempat tinggal di Luaor Kecamatan Pamboang bahwa kedatangan Belanda di Majene/Pamboang adalah disekitar tahun 0 (nol). [penafsiran penulis ANDI SYAIFUL SINRANG) tentang istilah 0 (nol) ini adalah tahun 1900). Bermula kedatangannya diterima baik oleh raja-raja dan bangsawan-bangsawan pada umumnya. Bahkan selama 5 (lima) tahun berhasil mengadakan kerjasama khusus dibidang perdagangan, dan kesehatan yang diikat dalam suatu perjanjian tertulis.

Tahun 1905 Belanda memulai politik penjajahannya yang merupakan maksud utama kedatangannya di Indonesia. Tahun itupula Belanda telah mengingkari perjanjian. Akibatnya Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali dan Calo' Ammana I Wewang mengadakan pemberontakan. Menyusul pemberontakan La'langi Parimuku dan Pattolo' Pattana Sompa' dari Mamuju.

Pada hari-hari pertama Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali berhasil membakar tangsi (Boyang Sowa') di Majene dan merampas sebanyak 80 pucuk senjata dan menawan seorang juru tulis Belanda.

Dengan pertimbangan kekuatan tidak seimbang, maka ada diantara anggota Hadat Banggae yang tidak menyetujui pemberontakan itu. Dengan segala alat-alat perlengkapan perang dan beberapa anggota Hadat Banggae, berangkatlah ke Pamboang untuk menyusun kekuatan yang lebih besar. Menurut perhitungan ditinjau dari sudut Pertahanan Militer, Pamboang sangat strategis apalagi dengan BETTENGNYA di Galung Adolang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ditinjau dari segi perlengkapan perang sangat cocok karena pedagang-pedagang di Pamboang sudah kenal dengan Singapura. Dilihat dari segi kekompakan Raja, Hadat dan Rakyatnya ada labih baik dari pada Banggae. Ditinjau dari supply makanan lebih dekat dengan kerajaan Sendana, kerajaan terbanyak makanannya pada masa itu, yang Rajanya bernama I RUKKA LUMU dari tahun 1903-1907. Sesuai dengan struktur TAMMAJARRA, kerajaan Senada adalah KINDO' yang senantiasa bersedia memberi makanan kepada anak-anaknya bila menghendaki atau menghadapi kesulitan.

Setibanya di Pamboang segera mengadakan perundingan dengan Pallayaran Tallunna Pamboang termasuk seluruh Pappuangan, mengenai tindakan yang harus diambil bila Belanda menyerang Pamboang. Diputuskan – ditetapkan :
  1. Sejengkalpun tanah tersisa di Pamboang – Mandar, akan kita pertahankan sampai tetesan darah yang terakhir.
  2. Kalah perang di pantai, kita mundur ke Betteng Galung Adolang sebagai pusat pertahanan dan gerilya.
  3. Semua yang dianggap tidak membantu perjuangan, diambil hartanya untuk biaya perjuangan, yang melawan dibunuh.

Hari yang tak diketahui tanggalnya, Belanda mengirim utusan ke Pamboang untuk menemui Raja (Arayang) mengenai pendiriannya. Arayang Pamboang Ajuara yang diapit oleh menantu dan sepupu sekalinya yaitu Ammana I Pattolawali dan Ammana I Wewang menjawab: "Tidak ada jalan untuk kompromi apalagi untuk menyerah"

Pada hari H, Belanda mulai menyerang Pamboang melalui Banggae dan dibantu oleh serdadu yang naik Kapal Putih (Kapal Perang) dari laut, yang diperlengkapi dengan meriam yang belum pernah di lihat dan di dengar semacamnya oleh rakyat Pamboang. Dari laut sebelum meriam kapal itu meletus, sirenenya dibunyikan sebanyak 3 kali. Secara spontan pasukan Ammana I Pattolawali membalas dengan bunyi meriam 3 kali pula dan serentetan bunyi senjata yang kecil-kecil. Serdadu yang dari kapal itu khusus didatangkan dari Betawi melalui Menado, Palu dan Donggala.

Dari kapal Belanda berbunyilah meriam otomatis dan senjata-senjata berat lainnya. Menurut keterangan Ibu Kandung Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini yang merupakan sumber utama dari penulisan sejarah ini menyatakan :
  • Kebanyakan serdadu Belanda itu terdiri dari bangsa kita sendiri yaitu : Ambon, Menado dan Jawa.
  • Karena ketakutan yang berlebihan mendengar bunyi meriam itu, maka orang-orang (non militer) yang sedang buang air besar tak ingat lagi untuk bercuci langsung melarikan diri.
Serdadu yang dari kapal Belanda mendarat sudah. Pasukan Mara'dia Malolo bermaksud untuk bertahan di Pantai Pamboang, tetapi Ajuara Arayang Pamboang membuat kebijaksanaan khusus untuk menghindarkan pengorbanan rakyat biasa yaitu "Kita harus mundur ke Betteng Galung, nanti disana kita bertahan mati-matian" Kebijaksanaan ini berkenan di hati kedua Pahlawan itu. Maka mundurlah mereka bersama pasukannya secara jantan (bah. Mandar malai tommuanei). Dengan semangat baja, TRI TUNGGAL ini yaitu : Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Mara'dia Malolo Banggae, dan I Latta Permaisuri Kerajaan Pamboang, tiba dengan selamat di Betteng Galung.

Berkali-kali Belanda mengirim Delegasi ke Galung untuk mengajak berdamai tetapi tidak berhasil. Tri Tunggal dan beberapa orang pengikutnya termasuk Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang dan Daenna I Hama' memilih mati daripada bekerjasama dengan Belanda apalagi dikatakan menyerah. Mereka malu mengingkari pasang (kata semula) yang berbunyi : "Ropo'o mai bulang, tililimo'o sau buttu, tannaulele diuru pura loau" artinya "Sekiranya langit boleh runtuh, yah…runtuhlah; Gunung bisa terbang, ya…terbanglah; tetapi saya tidak akan beranjak sedikitpun dari kata semula"

Betteng Galung di serang. Pertempuran dikobarkan terus. Kedua belah pihak bergumul mati-matian. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Dapat ditandai, jika yang luka (mati) mengucapkan aduh…, itu menandakan serdadu Belanda itu berasal dari Suku Ambon, Menado atau Jawa. Jika Belanda Totok (asli), mengaduh dengan bahasanya sendiri. Belanda mengakui jika Betteng Galung diserang dari arah mana saja, memang sukar ditembus karena sangat jurang, tambah pula banyak batu-batu besar yang dijejer dipinggir tebing untuk digulingkan sewaktu-waktu ada serangan. Kecuali satu jalan rahasia dari Timbogading.

Pada hari-hari terakhir muncullah seorang penghianat, yaitu bekas Syahbandar Pamboang juga bekas pasukan Ammana I Pattolawali, menunjukkan jalan rahasia itu dari Timbogading (dari belakang). Pada saat itu serdadu Belanda lolos masuk ke dalam Betteng. Maka terjadilah pertempuran yang sangat sengit. Beradulah senjata api dengan senjata api, pedang bayonet dengan parang, kondo wulo, keris dan tombak. Darah pahlawan menyirami Bumi Betteng Galung. Daging dan tulang berserakan/berhamburan. Karena sentuhan peluru dan pedang memupuk persada Betteng Galung. Seorang Obos (menurut pengertian orang di Galung) yang memakai topi Strep kuning emas, persis berhadapan langsung dengan Panglima Kaco' Puang Mara'dia Malolo. Menurut cerita orang tua-tua (ada yang masih hidup sampai terbitnya buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS ini) bahwa duel kedua orang itu berlangsung kira-kira 7 (tujuh) menit. Dalam persitiwa itu gugurlah Kesuma Bangsa Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo dengan meninggalkan seorang isteri bernama Haji Jamilah dan 2 orang anak perempuan bernama Puang Bere dan Puang Pune, bersama kawan seperjuangannya yang paling setia yaitu Kali Ka'mundri (Kali Podhi) Kali Adolang dan Daenna I Hama', keduanya dari Kerajaan Pamboang.

Menurut keterangan dari 2 orang yang turut memakamkan Ammana I Pattolawali melalui Andi Mappatunru' cucu langsung dari Mara'dia Ammana I Wewang dan Maralai cucu langsung dari Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang keduanya masih hidup saat tersusunnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini menyatakan : "Pahlawan itu (Ammana I Pattolawali) gugur tanpa luka. Beliau tahan peluru dan benda-benda tajam lainnya. Yang menyebabkan kegugurannya ialah lengannya ditarik oleh beberapa orang serdadu Belanda, sampai tulang lengannya berpisah dengan badannya. Dari mulut, telinga, dan mata mengeluarkan darah" Dengan gugurnya Ammana I Pattolawali adalah merupakan titik terakhir perlawanan yang berarti dari pasukan penentang Belanda di daerah Mandar.

Ajuara Arayang Pamboang dengan Permaisuri I Latta mengundurkan diri ke Onang Kerajaan Sendana melalui Ulu Balombong. Ammana I Wewang mengundurkan diri ke hutan (daerah Alu), dimana bapaknya bernama I GA-ANG menjadi Mara'dia pada masa itu. Mayat Ammana I Pattolawali dapat diselamatkan (tidak diambil Belanda) atas perlindungan Pasukan Mandar yang masih hidup atas petunjuk Puang Tondo'.

Setelah beberapa hari Belanda menduduki Pamboang, Belanda mengirim utusan ke Onang Sendana dengan pesanan :
  • Arayang supaya kembali saja ke Pamboang dan akan tetap menjadi raja dengan Hadat-Hadatnya.
  • Kedatangan Belanda hanya urusan dagang dan akan diadakan perundingan mengenai soal tersebut.
Maka berangkatlah Ajuara ke Pamboang bersama pengikutnya termasuk Kura'da Daeng Mattantu gelar Puang Tondo' Pa'bicara Adolang. Sesampai di Pamboang diadakanlah perundingan di atas Kapal Putih/Kapal Perang. Tidak di adakan di darat karena dikhawatirkan sementara perundingan, Ammana I wewang menyerang. Itulah alasan Belanda yang membuat Arayang Ajuara tidak merasa curiga.

Sebelum perundingan dimulai, Kapal Perang Putih diberangkatkan ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), berarti pengasingan bagi pahlawan-pahlawan kita. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1907. Mereka ditawan di Balla Tinggia di Ujung Pandang. Berselang beberapa tahun mereka kembali ke Pamboang dengan selamat. Sebagai kenangan dan peringatan bagi mereka berdua, Arayang Ajuara diberi gelar TO POLE DI JUPPADANG dan Kura'da Puang Tondo', salah seorang cucunya yang dilahirkan sementara beliau dalam pengasingan di Balla' Tinggia diberi nama I TINGGI.


Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa,
Dalam Pakaian Hadat

Malang bagi pahlawan Ammana I Wewang dalam suatu serangan yang tak disangka-sangka dari serdadu Belanda, berliau tertangkap dan diasingkan ke Pulau Belitung (sekarang Propinsi Bangka Belitung). Oleh anak cucu beliau menugaskan kepada seorang bernama Muhammad Ali untuk mengambil dalam pengasingan. Peristiwa pengasingan ini terjadi dari tahun 1907 dan kembali ke Mandar tahun 1944. Beliau wafat dan dimakamkan di dalam pekarangan Masjid Limboro Balanipa pada tanggal 11 April 1967. Dengan surat keputusan dari Pemerintah Republik Indonesia beliau diakui sebagai PEJUANG PERINTIS KEMERDEKAAN. Pahlawan ini oleh masyarakat Mandar dikenal dengan gelar TO POLE DI BALITUNG. Dan sebagai kenangan dari Kali Adolang lahir pulalah serangkaian syair berbunyi sebagai berikut : "Mate Kalinna Adolang, Tombong guma kowi'na, Pura sumangi' to ilalang tumae" artinya "Gugurlah sudah Kadhi Adolang, Tembus berlobang sarung parungnya, semua orang dalam tunangan, turut meratap sambil menangis" Catatan :
  • Mengapa orang-orang dalam tunangan turut menangis?
  • Karena menurut pendapat orang Adolang pada masa itu, hanyalah Kadhi Adolang satu-satunya yang dapat (punya berkah) dalam mengawinkan orang.
  • Belum ada yang berpendapat bahwa tidak akan kawin sama sekali dengan kematian Kadhi Adolang tersebut.
  • (Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, tahun 1980, halaman 39 s/d 46)

Pejuang-pejuang Wanita Mandar seperti : Puang Depu Arayang Balanipa yang ke-53, Haji Maemunah Pance, St. Jala' Hamzah, Ruaidah Rauf, Rosmiani Achmad, Haji Habibah Pawannari, Haji Ummihani Salam bukanlah barang baru di Mandar.

Di muka daripada pejuang-pejuang tersebut di atas terdapat : I Latta permaisuri Arayang Pamboang Ajuara, dan Haji Jamilah isteri Kaco Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo Pamboang dan Banggae. Kedua Srikandi ini tetap mendampingi suaminya dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang bahkan sampai ke pengasingan. Keduanya sangat taat beragama ini dibuktikan dengan judul Haji yang telah berhasil dijunjungnya.

Selama dalam perang dan perjuangan melawan Belanda, tidak satupun kata yang diucapkan yang bernada penyesalan untuk merendahkan moral dan semangat suami dan pasukannya. Mereka melepaskan suaminya ke medan pertempuran dengan pesanan :
  1. Ingat terus kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Besarkan Moral dirimu dan pasukanmu.
  3. Kematianmu dan kematian pasukanmu adalah kematian yang paling mulia daripada segala macam kematian.
  4. Syahid bagimu karena lawanmu adalah orang-orang kafir dan anti Tuhan.

Sebelum goresan ini di akhiri, Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) akan mengungkit sedikit bunyi komando salah seorang Wanita Pejuang 45 yang tersebut di atas dalam bahasa Mandar sebagai berikut "Moa' namunduro-o mie' Tommuane, alai mai lasomu" artinya "Jika laki-laki akan mundur dalam perjuangan ini, lebih baik kelaki-lakianmu serahkan kepada kami" Komando ini penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang termasuk pengikut beliau masih sempat mendengar dari mulut beliau sendiri. Jelasnya; Perjuangan kita belum selesai.


Hj. Puang Depu Arayang Balanipa gelar Ibu Agung

Haji Puang Depu Arayang Balanipa yang dikenal juga dalam kalangan masyarakat Mandar sebagai Ibu Agung. Beliau telah mendapat Anugerah Tertinggi dari Negara Republik Indonesia yaitu BINTANG MAHA PUTRA TINGKAT IV (informasi dari saudara H. Masdar Pasmar). Kepada wanita khususnya, agar meneladani semangat yang dimiliki oleh pejuang kita di atas demi melaksanakan tugas pembangunan yang dibebankan Negara kepadamu.

(Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, Tahun 1980, halaman 47 s/d 48)


Bermula di zaman Maradika Pua' Aji memerintah di Mamuju (sekarang Ibu kota Propinsi Sulawesi Barat) datanglah Kapal Putih (Kapal Perang) Belanda langsung ke pelabuhan Mamuju kira-kira pada tahun 1902. Belanda langsung menjemput Maradika Pua' Aji bersama Ada' Pitu dibawa ke Kapal Putih, kecuali Pangulu dan Tomatoa. Kapal Putih tersebut membawa Maradika Pua' Aji dan Ada' Pitu berlayar sampai ke Tanjung Rangas dan disanalah Belanda menyodorkan Surat Perjanjian (Korte Verklaring) yang isinya "BALINNA BALANDA BALIKKUTO'" dengan huruf Lontar. Kemudian Belanda bersedia menggaji Maradika Pua' Aji dan Ada' Pitu dengan syarat "Semua senjata kerajaan harus diserahkan kepada Belanda" Mulai pada saat itu Maradika Mamuju dan Ada' Pitu resmi menjadi Zelef Bestuur dibawah kekuasaan Belanda. Setelah Pangulu dan Matoa dipanggil oleh Maradika untuk menyerahkan senjata kerajaan kepada Belanda, maka Pangulu sebagai Panglima Perang kerajaan bersama Matoa sama sekali tidak menyetujui untuk menyerahkan senjata tersebut. Maka Pangulu dan Matoa meninggalkan Maradika dan Adat Mamuju menuju Budong-Budong dengan mengangkut semua senjata dan peralatannya, lalu mendirikan benteng pertahanan di Kayu Mangiwang kira-kira 10 Km dari pantai Ba'bana Budong-Budong dan mereka nekad untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belenda dengan Benteng Kayu Mangiwang sebagai markasnya.

Jadi yang sebenarnya membangun Benteng Kayu Mangiwang adalah Pangulu dan Matoa yang kemudian dilanjutkan dan dimotori oleh 5 serangkai, yaitu :
1. Pattolo'bali (Pattolo' Lipu)
2. Daenna Macirinnae
3. Parimuku
4. Mantaroso' Pattana Bone
5. Andi Mattona'

Lima serangkai ini bersama dengan Pangulu dan Matoa yang lebih menyempurnakan pembangunan Benteng Kayu Mangiwang dan dilengkapi dengan peralatan perang secukupnya. Setelah mereka merasa bahwa benteng tersebut sudah lengkap, baru mereka menghubungi Pitu Ulunna Salu untuk meminta partisipasinya didalam berjuang menentang penjajahan Belanda.

Datanglah serombongan Pa'barani (bhs. Ind. Pemberani) dari Mambi yang dipimpin oleh Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin 5 serangkai dari Kayu Mangiwang untuk dipersiapkan menghadapi serdadu Belanda.

Setelah mereka merasa segala persiapan sudah rampung, maka Pangulu sebagai Panglima Perang menyurat kepada pimpinan serdadu Belanda di Mamuju dan menyatakan bahwa : "KALAU SERDADU BELANDA MAU MENGAMBIL SENJATA SESUAI YANG TERCANTUM DALAM KORTE VERKLARING, SILAHKAN DATANG DI BENTENG KAYU MANGIWANG DI BUDONG-BUDONG"

Berdasarkan surat Pangulu tersebut, maka Belanda mempersiapkan satu kompi serdadu untuk datang ke Benteng Kayu Mangiwang, yang akhirnya, semua tentara yang satu kompi itu tewas akibat sergapan dari pasukan Benteng Kayu Mangiwang, kecuali pimpinan pasukannya saja yang masih hidup bernama Letnan Janggu'.

Disamping sedih Letnan Janggu' juga sangat malu dalam peristiwa itu, lalu Belanda meminta bantuan untuk melakukan ekspedisi yang kedua. Namun ekspedisi kedua ini juga musnah ditangan pasukan Kayu Mangiwang. Didatangkan lagi ekspedisi ketiga yang juga mengalami nasib yang sama, dan Belanda meningkatkan jumlah pasukannya secara berlipat ganda pada ekspedisi keempat. Namun ekspedisi keempat inipun tidak berdaya menghadapi taktik Pangulu dkk. Pasukan Benteng Kayu Mangiwang membuat jembatan yang menghubungkan sungai Budong-Budong dengan benteng dan setelah Belanda menyeberang jembatan tersebut dirobohkan dan serdadu Belanda tenggelam di sungai.

Lama berselang, Belanda tidak menyerang lagi Benteng Kayu Mangiwang dan pada akhirnya merencanakan ekspedisi kelima dengan menggunakan tentara pilihan mereka yang bernama MARSOSE. Pasukan Marsose ini menyerang Benteng Kayu Mangiwang dari belakang melalui Lu'mu'. Pasukan Marsose mengambil seorang rakyat di Lu'mu' untuk dijadikan penunjuk jalan. Dini hari menjelang Subuh, mereka tiba di Benteng Kayu Mangiwang dan mulai bertempur sehari suntuk.

Menjelang tengah hari, Marsose menghentikan perang untuk beristirahat. Sementara istirahat, Pattolo' Lipu bersama-sama dengan beberapa anggota pasukan membersihkan mayat-mayat yang sudah berbau busuk bergelimpangan disekitar benteng dan dibuang ke sungai. Berbarengan dengan itu, Pattolo' Lipu menemukan sebuah terompet mengkilap bagai emas lalu diambilnya dan diperlihatkan kepada kawan-kawannya. Mungkin Pattolo' Lipu terangsang oleh jiwa mudanya karena di antara 5 serangkai, Pattolo' Lipulah yang paling muda, sehingga ia selalu ingin membunyikan terompet itu, tapi dilarang oleh kawan-kawannya. Namun diam-diam Pattolo' Lipu keluar dari pintu lalu membunyikan terompet tersebut dengan bunyi yang tidak karuan. Akibatnya serdadu Marsose serentak tiba-tiba menyerang masuk ke benteng karena disangkanya tukang terompetnya dalam keadaan gawat, Pertempuran yang terjadi secara tiba-tiba itu berlangsung sengit dan tidak terkendali, mengakibatkan Daenna Macirinnae gugur dalam pertempuran ini, dan sekitar pukul 16.00 jatuhlah Benteng Kayu Mangiwang ditangan serdadu Marsose Belanda.

Pattana Bone bersama Pa'barani dari Mambi yakni Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' sempat meloloskan diri dan berjalan terus tembus ke Kombiling dan Kamansi terus naik perahu menuju Pulau Karampuang dan bersemubnyi disana. Sedangkan dua Pa'barani dari Mambi, Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' berjalan terus menembus hutan dan tiba di Lombang-Lombang. Sedangkan Parimuku masih sempat membunuh serdadu Marsose yang akhirnya beliaupun terbunuh oleh serdadu Marsose tersebut. Pattana Bone pada akhirnya diketahui diasingkan ke Pulau Jawa selama 15 tahun. Yang masih misterius keberadaannya ialah Pattolo' Lipu karena ternyata beliau tidak gugur dalam pertempuran itu, namun kabarnya ia ditangkap Belanda sesudah jatuhnya Benteng Kayu Mangiwang.

Delapan belas tahun kemudian, yakni dalam tahun 1925, datanglah sebuah kapal besar Belanda berlabuh di Budong-Budong dengan Kapten Kapalnya dikenal bernama Tuan Busman. Tuan Busman ini aneh dan misterius sekali karena disamping mengetahui semua nama-nama orang Budong-Budong sampai Mamuju, juga sangat fasih bahasa Mamuju.

Mula-mula Tuan Busman pergi menemui semua bekas-bekas pejuang Kayu Mangiwang. Kemudian beliau pergi ke rumah Pattolo' Lipu dan menyuruh memanggil ketiga isteri Pattolo' Lipu. Dalam pertemuan dengan ketiga isteri Pattolo' Lipu tersebut, mereka sangat ragu dan menduga keras bahwa sebenarnya Tuan Busman itu adalah Pattolo' Lipu sendiri karena terbukti tidak ada satupun keluarga Pattolo' Lipu yang luput dari pertanyaan dan pencariannya. Pada akhirnya beliau mengadakan persetujuan dengan keluarganya, bahwa tiga bulan kemudian dia akan pensiun dan akan datang di Makassar mendirikan rumah dan harap keluarganya datang menemui beliau ke Makassar. Tiga bulan kemudian keluarganya datang di Makassar untuk menunggu kedatangannya dan tidak berapa lama datanglah berita dari Nederland bahwa Tuan Busman meninggal dunia di sana.

(Sumber : Buku SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN BANGSA DI MANDAR, oleh DRS. A.M. MANDRA, Penerbit PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MAJENE, tahun 2002, halaman 38 s/d 42)

Jika kita berbicara tentang Kaco' Puang Mara'dia Malolo tak boleh tidak pasti kita mengingat Haji Jamilah isteri beliau. Dan secara otomatis mengingat La'langi Parimuku. Dialah yang mula-mula mengobarkan perlawanan terhadap Belanda di Kerajaan Mamuju. Beliau adalah seorang putera dari bangsawan pemberani bernama SAMANI TO JAGUANG.


La'langi Parimuku tidak lama mengadakan perlawanan karena lekas tertangkap. Keberanian La'langi Parimuku disamping diperlihatkan di medan perang juga masih dipertunjukkan di dalam tahanan. Sejarahnya sebagai berikut : Setelah La'langi Parimuku tertangkap di suatu pertempuran di Daerah Mamuju Kayu Mangiwang, beliau dibawa ke Kota untuk ditawan. Di suatu tempat penahanan berkali-kali serdadu Belanda memaksa agar mengakui pemerintahannya, La'langi Parimuku hanya bersifat diam, apalagi untuk mengucapkan kata menyerah. Sekali lagi Belanda memasuki sel tahanan dengan maksud yang sama sekali lagi La'langi Parimuku tidak menjawab. Kecuali La'langi Parimuku minta kepada serdadu Belanda itu untuk mengambilkan tempat berludah yang dalam bahasa Mandar disebut ti'uduang yang terbuat dari tembaga (kuningan) seberat kira-kira 2 Kg. Begitu diterima dan selesai berludah dilemparkannya ti'uduang itu ke muka Belanda sampai menemui ajalnya. Atas kejadian ini Belanda yang lain segera mencabut pistolnya langsung menembakkan mengenai kepala La'langi Parimuku, dan gugurlah dia sebagai KESUMA BANGSA.

Dalam perjuangan, La'langi Parimuku mempunyai kawan seperjuangan bernama Pattolo' Pattana Sompa. Menurut keterangan nenek penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) Muhammad Puang Kali Parasiden yang wafat di Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1957 dalam usia 100 tahun, masih sempat berbicara dan berjabat tangan dengan pahlawan ini.

Orangnya sangat gagah, berani dan ganteng. Rambutnya panjang bagaikan wanita masa dulu, hitam dan keriting, hidung mancung, kulitnya kuning langsat. Perawakan tubuhnya tinggi besar tapi tidak gemuk. Nenek penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) tersebut mengambil contoh persis sama dengan ANDI TENRIAJI cucu LA'LANGI PARIMUKU. Demikian keterangan nenek penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) tersebut.

Keguguran dan kuburan Pattolo' Pattana Sompa tidak diketahui saat dan tempatnya. Dikalangan masyarakat Mamuju pada masa itu ada dua pendapat yaitu :
  1. Luka dalam suatu pertempuran dan mundur masuk di hutan. Jalan pemunduraanya ada di antara pasukannya yang melihat tetapi tidak melihat mayat apalagi kuburannya.
  2. Beliau ditangkap hidup-hidup oleh Belanda dan langsung dibawa ke Pulau Jawa atau ke Nederland.
Nenek penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang menjadi sumber utama cerita ini, sempat sekali dua mengikuti pertempurannya.

(Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, Oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, tahun 1980, halaman 46 s/d 47)

Lontara Pappangajana Abdul Bada

Iyanae Pappangajana Abdul Bada. Makkedai :

1. Nigi-nigi tettongiwi gettengngé sitettongi nabittaq Muhammad, pajellokammoi tenri jellokang.

2. Nigi-nigi tettongiwi lempué sitettongiwi nabi Adang, pabbicaramoi tenri bicara.

3. Nigi-nigi tettongiwi ada tongengngé sitettongiwi nabi héléré, pasauq moi tenri sauq.

4. Nigi-nigi tettongiwi alabongngé, sitettongiwi malaikaq Jiberilu, patawangmoi ténri tawai.

5. Nigi-nigi tettongiwi mekkoé, sitettongiwi malaikaq Mikailu, pappadeceng moi ténri padecengi.

6. Nigi-nigi tettongiwi nyamekkininnawaé, sitettongiwi malaikaq Israilu, mappacongamoi tenri paconga, menré moi tenno.

7. Naiya gettengngé sipa pajéllokannai nabitta Muhammad.

8. Naiya Lempué sipa pabbicarannai nabittaq Adang.

9. Naiya ada tongengngé sipa pasaunai nabi héléré.

10. Naiya lobaé sipa patawannai malaikaq Jibrilu.

11. Naiya mekkoé sipa mappadécénnai malaikaq Mikailu.

12. Naiya nyamekkininnawaé sipa menreqna malaikaq Israilu.

13. Naiya temmappasilaingengngé sipa mappaconganai malaikaq Israfilu.

14. Nigi- nigi posipaq iaro bicara pitué iyaréq ga sipa’ pitué, narékko namaséi puang Alla Taala malampé sungeq-i, sugi, panritai, mawijai, pasiangi tana wijanna (mapparenta).

15. Naiya gettennge ri Puang Alla Taala pannennuangngi pogauq pakkasiwiang ri Puang Alla Taala, mappanennuattoi niniriwi pappésangkana.

16. Naiya lempué ri Puang Alla Taala matékakangengngi majéppu Puang Alla Taala pancaji ripancajié.

17. Naiya ada tongengngé ri puang Alla Taala riatékakangngi déq mappabati rilainnaé puang Alla Taala.

18. Naiya lobaé ri puang Alla Taala mappésonangengngi aléna ri puang Alla Taala.

19. Naiya mekkoé ri puang Alla Taala, tawakkalaé ri Puang Alla Taala.

20. Naiya nyamengkininnawaé ri puang Alla Taala pannenuangi pappujinna lao ri Puang Alla Taala.

21. Naiya temmappasilaingengé ri Puang Alla Taala iyanaritu sukkurué ri puang Allah Taala, napappada-padai céddé, maégaé pabbéréna puang Alla Taala, maperina na mayamenna.

22. Naiya gettengngé ri puang Alla Taala narékko purai tapoada ajaq natapinrai.

23. Naiya lempué ri puang Alla Taala pasitinajaénngi gauq ri aléna.

24. Naiya ada tongengngé ri puang Alla Taala siturupi riatitta, lidata tapoadaé.

25. Naiya lobaé ri puang Alla Taala, agi- agi nacinnai tawérénngi narekko engkai nasitinaja hallalaq anré-anré togi pakaiang togi.

26.Naiya mekkoéri puang Alla Taala, aja tapoadai ada temmakkegunaé

27. Naiya nyamekkininnawaé ri puang Alla Taala ajaq tapawawoi alétaq tenna ulle sangadinna pakkasiwiangngé ri puang Alla Taala.

28. Naiya temmappasilaingngé ri puang Alla Taala, mauki arung, mauki panrita, mauki sugi, ita pada-padamaneng moi alemu padammu ripancaji.

29. Naiya gettengngé ri padattaq tau. maéloppiq molai, taiséppi tapoadangngi padatta tau.

30. Naiya lempué ri padatta tau, taitapi, taisséppi, tapoadanngi padatta tau.

31. Naiya ada tongengngé ripadatta, taitapi, taiséppi, tapoadangi padatta tau.

32. Naiya lobaé ri padatta tau. Narekko engka waramparangmu nacinnai padammu tau nasitinaja mua taweréngngi nasaba anu lao réwemuatu, majéppu puang Alla Taala pasiwale ritu.

33. Naiya mekkoé ri padatta tau, aja naribicara ri munri padatta tau.

34. Naiya nyamekkininnawaé ri padattaq tauq narékko napéjariki padattaq tauq tawaleq tosiha nasaba deceng. Nasaba riissenni anu maja.

35. Naiya temmapasilaingengé ri padattaq tau pattongengngi patujué, pasalai tau to rialena narekko salai iyamo nasalang, mau taulaeng narekko patujui iyamato natongengang.

36. Naiya gettengngé ri sewwa-sewwaé, narékko joppakki nakitabbuttu, gettengngi makkedaé iyaqmuro pasala nasabaq anu dé natassala rionronna naiya pogeppai, capu-capui namasigaq sau.

37. Naiya lempué ri sewwa- sewwaé, narékko engka waramparatta nanré olokolo aja tapocai, nasabaq dalleqna motuto nanré.

38. Naiya mekkoé ri sewwa-sewwaé, aja mutarasui sewwa-sewwaé.


Terjemahan Lontara Pappangajana Abdul Bada

Inilah nasehat Abdul Bada yang mengatakan :

1. Barang siapa yang menegakkan keteguhan adalah sependirian dengan nabi kita Muhammad yang selalu menuntun tetapi tidak pernah dituntun.

2. Barang siapa menegakkan kejujuran, maka sependirian dengan nabi Adam, yang selalu memberitahukan tapi tidak pernah diberitahukan.

3. Barang siapa yang selalu berkata benar, dia sependirian dengan Nabi Haidir yang selalu menang dan tidak pernah kalah.

4. Barang siapa menegakkan kedermawanan, maka sependirian dengan malaikat Jibril yang selalu memberi, tetapi tidak pernah diberi.

5. Barang siapa menegakkan diam maka sependirian dengan malaikat Mikaill yang selalu menghalangi tidak pernah dihalangi.

6. Barang siapa berhati baik, sependirian dengan malaikat Israil dia dipanuti tidak direndahkan, dia naik tidak pernah turun.

7. Adapun keteguhan itu adalah sifat penunjuknya nabi kita Muhammad.

8. Adapun kejujuran itu sifat perkataannya nabi Adam.

9. Adapan berkata benar itu sifat menangnya nabi Haidir.

10. Adapun dermawan itu, sifat pemurahnya malaikat Jibril.

11. Adapun diam itu sifat kebaikan malaikat Mikail.

12. Adapun berhati baik sifat mulianya malaikat Israil.

13. Adapun tidak membeda-bedakan sifat kepanutannya malaikat Israfil.

14. Barang siapa yang memiliki perkara yang tujuh itu, apabila Allah SWT merahmati maka panjang umurnya, kaya, ulama, berketurunan, dan turunannya berpeluang memerintah.

15. Adapun keteguhan kepada Allah swt, mengekalkan melakukan ibadah kepada Allah swt, meneguhkan menghindari larangannya.

16. Adapun kejujuran kepada Allah swt, yaitu orang yang bertindak karena Allah yang menciptakan mahluknya.

17. Adapun perkataan benar kepada Allah swt, yaitu melaksanakan perintahnya dengan tidak berdasar selain daripada Allah.

18. Adapun dermawan kepada Allah swt, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.

19. Adapun diam kepada Allah yaitu bertawakkal kepada Allah

20. Adapun berhati baik kepada Allah swt, yaitu mengekalkan cintanya kepada-Nya.

21. Adapun tidak berubah pikiran kepada Allah swt yaitu bersyukur kepada Allah tidak membedakan sedikit atau banyak pemberian Allah swt, bahagia atau susah.

22. Adapun keteguhan kepada Allah swt, apabila sudah mengatakan sesuatu jangan lagi diubah.

23. Adapun kejujuran kepada Allah swt yaitu berbuat sewajarnya pada diri sendiri.

24. Adapun berkata benar terhadap Allah swt yaitu apabila hati dan lidah sejalan

25. Adapun dermawan kepada Allah swt yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain yang diinginkan dalam batas halal, pakaian, ataupun berupa makanan.

26. Adapun diam kepada Allah swt, yaitu jangan membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

27. Adapun berhati baik kepada Allah SWT, jangan .........

28. Adapun yang tidak membeda-bedakan di sisi Allah, apakah bangsawan, ulama, orang kaya lihatlah sama derajatnya sebagai sesama ciptaan.

29. Adapun keteguhan kepada sesama manusia, kita dapat melakukannya, kita beritahu orang jika kita mengetahuinya.

30. Adapun kejujuran sesama manusia yaitu lihatlah, ketahuilah, kemudian memberitahukan orang lain.

31. Adapun perkataan baik terhadap sesama manusia, yaitu lihatlah, ketahuilah, kemudian memberitahukan orang lain.

32. Adapun dermawan sesama manusia, yaitu apabila ada harta benda kita yang diinginkan orang laindan wajar bila memberinya, karena barang datang dan pergi, maka Tuhan yang akan memberi ganjaran.

33. Adapun diam sesama manusia, yaitu jangan membicarakan orang yang tidak hadir

34. Adapun berhati baik sesama manusia, yaitu jika orang berbuat baik pada kita tetap dibalas dengan kebaikan, sebab sudah diketahui bahwa hal tersebut jahat.

35. Adapun yang tidak membeda-bedakan sesama manusia, yaitu membetulkan yang benar, dan menyalahkan yang salah sekalipun keluarganya yang salah.

36. Adapun keteguhan kepada sesuatu yaitu apabila kita berjalan dan tertumbuk yakinlah, bahwa sayalah yang bersalah sebab benda itu tidak bergerak.

37. Adapun kejujuran terhadap mahluk, yaitu apabila ada harta benda kita dimakan mahluk, janganlah marah karena reskinya pulalah yang dimakan.

38. Adapun diam terhadap sesama, yaitu jangan mengatai-ngatai.