Minggu, 20 Desember 2009

Sejak Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada jarak delapan puluh tahun sebelum Kerajaan Melayu di Sumatra bagian timur me­ngirimkan sebuah misi ke Cina dan melakukan perdagangan. Kon­disi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda kehidupan mulai muncul kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar telah runtuh. Jalur darat menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan lagi, dan pola perdagangan telah berganti ke jalur laut menuju Selat Malaka.

Ketika Kerajaan Ko-ying dan Kan-to-li mulai berdiri, kelang­sungan hidup kerajaan-kerajaan di Indonesia telah dan terus ber­gantung pada keseimbangan tiga jenis hubungan, yaitu:

  1. Penguasa, yang berkuasa di pelabuhan-pelabuhan yang ber­dekatan dengan sungai-sungai besar, yang dapat mengenda­likan pergerakan dari daerah pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya:
  2. Produsen, dalam bidang kehutanan, pertanian, dan pertam­bangan di daerah pedalaman yang membawa kemakmuran bagi kerajaan;
  3. Pelaut kerajaan yang kadang-kadang independen, yang me­lindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang jahat. Mengawaki kapal armada dagang, dan dalam kasus Sriwi­jaya, membentuk angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.Hubungan ini—yang biasanya mclibatkan orang-orang berlain­an budaya, suku, dan loyalitas—disatukan tidak hanya dengan aliansi formal yang dibuat di bawah sumpah, tetapi juga dengan berbagi barang-barang rampasan dari perdagangan mancanega­ra yang saling menguntunakan. Sistem tersebut sangat rapuh ka­rena jika keseimbangan tersebut terganggu—jika perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun—produsen akan mcna­han produknya, atau bahkan mencari pasar yang lain. Atau. seper­ti yang mungkin terjadi pada Kan-to-li, para pelaut kemungkinan telah mcngkhianati sumpah mereka dan pergi berlayar mencari peruntungan yang lebih baik, atau kembali ke kehidupan lama mereka sebagai bajak laut yang tak mengenal susah.
Penerus Kan-to-li di sebelah tenggara Sumatra, yaitu Sriwijaya, kemungkinan mengalami peningkatan kemakmuran seperti layak­nya daerah-daerah lain karena sistem persimpangan Sungai tradi­sional. Tetapi terdapat faktor penting yang membedakan Sriwijaya dengan daerah-daerah lainnya. Seraya membentuk aliansi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan tetangga untuk melindungi wila­yah pertahanannya, Sriwijaya sendiri membangun angkatan pe­rang yang kuat yang terdiri dari prajurit untuk melakukan "pende­katan", dan bila perlu, memaksa penduduk pedalaman untuk meng­hormati kesepakatan mereka.

Pada saat yang sama, Kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Pa­lembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun "Ang­katan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut Nomaden" yang lebih kuat daripada wilayah-wilayah tetangganya. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menunjukkan kekuatan yang dimilikinya. In­skripsi itu menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra—sebuah proses menuju "kekuatan supernatural"—dengan 20.000 prajurit yang mengelu­-elukannya, yang ditugaskan di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya, Kerajaan Melayu (sekarang Jambi), dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari. Ekspansi yang didukung oleh kekuatan semacam itu tidak pernah terjadi sebelumnya dan Sriwijaya tidak berhenti hanya sampai di Jambi.

Meskipun ada dugaan bahwa angkatan laut Sriwijaya disusun dari golongan orang laut yang tinggal di pulau-pulau dekat pantai, bukan demikian yang sesungguhnya terjadi. Jika orang laut yang dimaksud di milenium pertama adalah orang-orang yang secara relatif masih primitif, individualistik, kelompok pelaut nomaden yang belakangan tinggal di sekitar Selat Malaka sampai Kepulauan Lingga, tidak mungkin mereka dapat mengerahkan kedisiplinan dan kekuatan untuk menciptakan angkatan laut yang terkoordi­nasi seperti yang dibutuhkan Sriwijaya.

Tetapi, jika angkatan laut tersebut tidak dibentuk dari para pe­laut lokal, lalu siapakah mereka sebenarnya?

Untuk bertahan hidup di wilayah kepulauan, sebagian besar orang Indonesia telah mengasah kemampuan mengarungi lautan sebagai dasar untuk bertahan hidup sejak zaman dulu. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Kehandalan bangsa Melayu seba­gai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudra dalam waktu yang panjang." Catatan yang dibuat pada abad ke-3 menceritakan kapal-kapal yang berlayar dari Filipina menyeberangi lebih dari 800 mil lautan lepas mcnuju Funan; tiga ratus tahun kemudian. Utusan-utusan Cina berhasil mencapai Se­menanjung Malaya dengan menggunakan kapal "barbar". Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun.

Lalu, siapa sebenarnya orang-orang yang mengawaki kapal-ka­pal kuno tersebut?

Mengejar hantu berusia dua ribu tahun terbukti hanya mem­buang-buang waktu percuma. Oleh karena itu, daripada mencoba menarik kesimpulan dari bukti arkeologi yang tidak memadai dan referensi Cina yang tak jelas, mungkin kita bisa mendapat lebih ba­nyak informasi tentang mereka dengan mempelajari cara berlayar sepanjang masa, dan mencoba memperkirakan apa yang terjadi pada masa lampau.

Ada beberapa kelompok pelaut nomaden yang bertahan di seluruh pelosok kepulauan yang mcrupakan keturunan pelaut-pe­laut masa lampau yang patut untuk digali keberadaannya. Salah satunya yang cukup dikenal dan tampak nyata adalah Mawken, yang berasal dari kelompok manusia-perahu, yang karena posisi mereka di sepanjang pantai Semenanjung Kra, kemungkinan memiliki pengaruh yang kuat di wilayah tersebut. Tetapi, meskipun Mawken digambarkan sebagai "pelaut yang paling handal di muka bumi", perahu-perahu mereka—yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi—berukuran kecil, dan mereka menurut pengamat­an orang pada abad ke-18 merupakan penduduk asli yang pemalu dan langsung berpencar dan bersembunyi di hutan-hutan bakau jika melihat orang asing. Menurut salah satu cerita mengenai asal­-usul mereka, mereka tinggal di lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun, dan lain-lain. Tetapi karena terus-menerus di­ganggu oleh para tuan tanah Birma dan Malaya, mereka akhirnya meninggalkan lahan mereka untuk tinggal secara permanen da­lam perahu-perahu kano yang menjelma menjadi rumah terapung yang mereka beri atap. Mereka tidak memiliki sejarah tentang pe­rahu-perahu besar yang mampu berlayar mengarungi samudra, sehingga dapat diabaikan.

Di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatra, terdapat sejumlah besar "Orang Laut" yang lain: Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik, Orang Moro, Orang Sugi, dan lain-lain. Mereka yang terbagi-bagi dalam lusinan suku yang lebih kecil, tak diragu­kan lagi memiliki peran yang penting ... tetapi mereka kcmungkin­an hanya tcrdiri dari kumpulan-kumpulan kccil yang bersembunyi di hutan-hutan bakau dan muara-muara di pulau-pulau keeil yang tak terhitung banyaknya—yang merupakan ancaman bagi para pe­lintas yang kurang waspada dan lebih baik dihindari. Seperti hal­nya Mawken, menurut cerita-cerita yang santer tentang mereka, mereka tidak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorga­nisasi yang dapat mengarungi samudra menuju India dan Afrika. Mereka lebih mirip seperti kelompok yang bisa disebut orang laut, kelompok Ma-lo-nu dari Sarawak yang menurut riwayat Cina, para pemimpinnya melubangi gigi emasnya serta makan dan minum dari tengkorak manusia, dan "... merupakan kelompok orang-orang liar, yang menangkap kapal karam, memanggang awak kapal yang karam tersebut di atas api dengan menggunakan penjepit bambu yang besar dan memakan mereka".

Jauh di sebelah timur kepulauan, antara Sulawesi dan Minda­nao terdapat suku Samal yang gemar berperang yang memiliki pe­rahu besar sejenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal pe­rompak berjenis tersebut. Kapal terbesar digambarkan memiliki panjang 80 kaki dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 70 kaki, lebar 12 kaki, dengan awak berjumlah 40 orang, dan membawa empat hingga enam sen­jata. David Sopher menulis dalam bukunya, "Perangkat kapal ba­jak laut milik orang-orang Illanun dan Samal adalah tepian panda yang digunakan untuk mendayung seperti bireme Mediterania pa­da zaman dulu, yang pada kapal bajak laut maupun kapal perang memiliki persyaratan kecepatan dan kapasitas yang lama untuk membawa pasukan perang dalam jumlah besar seperti kapal pe­rompak bangsa Moro."' Kapal sejenis kora-kora mampu mclaku­kan perjalanan di laut lepas, sesuai perkiraan kita tentang hubungan kapal semacam itu dengan sangara pada masa Pliny. Tetapi, kapa­sitas angkutnya lebih kecil, dan para pemiliknya kemungkinan lebih tertarik dengan profesi bajak laut warisan dari masa lalu da­ripada berkecimpung dalam pelayaran jarak jauh yang dibutuh­kan oleh Sriwijaya.

Kemudian, terdapat orang Bajau yang terkenal, yang merupa­kan bangsa pelaut nomaden yang telah tersebar di segala penjuru kepulauan.

Tampaknya sudah sejak lama bangsa Bajau atau Bajo menja­lani kehidupan sebagai salah satu pelaut handal yang keberadaan­nya tersebar di Kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Sejarah mereka masih samar-samar, tetapi dengan meli­hat dari jumlah tempat yang mengenal nama "Bajau", "Bajo", "Baja", "Waju", atau "Bajoo", mereka tampaknya tersebar di mana-mana. Toponim "Bajo" dapat ditemukan dari ujung ke ujung Kepulauan Indonesia: dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah timur—sebuah wilayah yang sa­ngat luas yang berjarak 2.500 mil dari barat ke timur dan 1.000 mil dari utara ke selatan. "Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan. Berlayar di laut lepas mcrupakan hal biasa bagi mereka—mereka mengarungi laut seperti layaknya burung-­burung laut," kata seorang pelancong bernama Raymond Kenne­dy, bertahun-tahun yang lalu.

Yang terpenting, asal-usul orang Bajo yang misterius itu sangat erat kaitannya dengan bangsa pelaut lain, antara lain bangsa Bugis (terkadang ditulis Bugi atau Buki), orang Mandar, dan orang Ma­kassar. Jika keberanian mereka di masa sekarang mencerminkan keberanian di masa lalu, dapat dipastikan mereka memiliki prasya­rat untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun yang lalu.

Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi, yang merupa­kan wilayah yang sama dengan orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki jalinan kekerabatan yang dekat dengan "orang-orang Wugi" tersebut. Pada 1885, Bastian menulis tentang peran orang Bajo dalam pembentukan wilayah politik (kerajaan) pertama di Sulawesi: "Tradisi (mereka) mengacu pada masa-masa awal pseudo sejarah orang Bugis dan Makassar, pada periode dongeng ketika kelompok penguasa diturunkan dari surga, memerintah selama tujuh generasi, dan kemudian menghilang. Mungkin karena mereka telah memasuki periode penetrasi budaya Hindu-Jawa." Dari penjelasan tersebut, tampaknya mereka berasal dari garis ketu­runan yang amat kuno yang mapan pada zaman Sriwijaya.

Meskipun punya hubungan dekat dengan orang-orang Bugis dan Makassar, kebiasaan-kebiasaan orang Bajo cukup bervariasi di setiap tempat mereka tinggal. Sebagian besar dari mereka, mi­salnya orang Mawken, menganggap perahu kecil sebagai rumah mereka. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan meninggal di atas pera­hu, mencari penghidupan di muara-muara berair dangkal di pulau­-pulau terpencil tempat tinggal kawanan buaya. Di sana, mereka menangkap ikan, kura-kura, dan burung merpati. Sebagian yang lain berkelana hingga ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, yang dihargai tinggi di Cina bagian selatan karena kelezat­annya. Orang Bajo yang lebih kaya tinggal di kapal yang disebut vinta, kapal bercadik yang memiliki tiga atau empat penyangga. Seperti halnya stink-pot yang pada masa kini terdapat di marina-marina di seluruh dunia, vinta "ditujukan hanya sebagai tempat hunian"; sebuah tempat tinggal untuk keluarga yang tidak pernah meninggalkan sauhnya. "Tak ada angin, tak ada ombak," kata orang-orang Bajo sambil tersenyum, "kapal itu tetap bergoyang!"

Beberapa orang Bajo membentuk hubungan baik dengan orang-­orang dari kasta yang lebih tinggi di pulau-pulau besar yang lebih maju, dengan cara menyediakan ikan-ikan untuk mereka, meng­antarkan pesanan dari pulau ke pulau, dan bertindak sebagai kuli yang membawa barang dagangan. Orang-orang Bajo yang berada di daratan ini "berburu" di lahan seperti halnya mereka berburu ikan di laut; mereka menanam padi dan tanaman lainnya, juga menjaga kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain. Beberapa dari mereka membangun rumah panjang untuk keluarga besar mereka, sedangkan para pelaut nomaden yang sesungguhnya­—jika mereka harus tinggal sementara di pantai—akan membangun pondok di pantai yang bentuknya lebih kasar, dan hanya untuk di­tempati oleh keluarga inti. Biasanya, perkampungan orang Bajo dapat ditemukan di pulau-pulau terpencil atau tanjung-tanjung yang berjarak satu atau dua hari dari pasar terdekat tempat mere­ka menjual ikan-ikan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa senjata, dan sering diganggu oleh para bajak laut. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan taktor itulah yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa "Bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk tetap berkelompok, dan menyingkir menca­ri tempat tinggal lain jika diganggu."

Bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang Bugis yang merupakan "sepupu" mereka, mengalami per­ubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka de­ngan bangsa-bangsa lain. Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pu­lau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat. Hal ter­sebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi ke­hidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami per­ubahan. Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu de­ngan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: "sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadop­si bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan."

Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Ma­kassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memi­liki kekerabatan yang mendominasi "dunia perahu", masing-ma­sing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan kata khusus itu terbentuk selama berta­hun-tahun; dengan demikian, beragamnya jenis kapal mcnunjuk­kan adanya pengembangan secara bertahap selama periode yang lama, dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya hi­dup yang mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan Bugis telah berkelana sampai ke tcmpat yang jauh.

Jika orang-orang Bajo telah berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh dan merupakan nelayan dan pedagang yang terampil, orang Bugis memiliki kemampuan yang membuat mereka pantas menjadi pemimpin angkatan laut di wilayah tersebut. Seorang sosiolog pernah menggambarkan struktur sosial bangsa Bugis seba­gai bangsa yang "sentrifugal". Mereka "mengirim anggota-anggota mereka pergi keluar lembah dan pulau tempat mereka tinggal, se­cara temporer atau selamanya, ke dunia luar, dan mereka bekerja keras mencari kebijaksanaan dan kekayaan .... untuk bangsa Bugis, pergi merantau sama normalnya dengan menikah." Sentrifugalis­me ini sangat kontras dengan masyarakat "sentripetal", seperti orang-orang Bali atau Toraja, yang anggota masyarakatnya "dita­rik ke dalam dan terjerat dalam jaring kewajiban-kewajiban yang ada dalam masyarakat, kekerabatan, dan ritual". Hal itu merupa­kan latar belakang sosial yang sempurna bagi para perantau dan penjelajah."

Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai repu­tasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, amber­gris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina ba­gian selatan. Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal Pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan meme­nuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 Pinisi masih membawa kayu dalam rute re­guler dari Kalimantan ke Jawa.

Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pela­buhan di Indonesia. Pada abad ke-17, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa‑masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana. Pada 1792, seorang pelancong menyatakan bahwa "Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun untuk berda­gang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai tela­dan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya."

Empat puluh lima tahun kemudian, seorang penulis bercerita tentang bangsa Bugis yang membentuk koloni di India: "... dalam hal kejujuran, kepribadian, dan perilaku, mereka jauh lebih unggul daripada bangsa Melayu. ...” Orang asing menganggap bangsa Bu­gis sebagai bangsa perompak. Seorang Cina berkata bahwa orang­-orang Bugis 'suka berpikir dan bertindak menuruti kemauan sen­diri, dan mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar'. Tanpa bermaksud untuk menentang pendapat itu, selama saya berkunjung ke India, saya tidak pernah satu kali pun mendengar adanya pemba­jakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis. Bahkan, sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa peristiwa yang justru membuk­tikan bahwa mereka cenderung bersikap sebaliknya."

Peta asal Belanda yang dibuat pada abad kc-18 dan digambar kembali o1eh navigator Bugis, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah berhasil mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya menggantung dari India seperti pukat/jaring yang dapat menangkap semua pergerakan yang tcrjadi antara Asia Ti­mur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk kapal mereka yang lebih mirip dengan kapal Indonesia dibandingkan dengan kapal India atau Arab, diperkirakan hubungan itu sudah berlang­sung sejak jaman dulu."

Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa bangsa Bugis, sam­pai dengan saat ini, adalah bangsa pelaut yang luar biasa. Pemim­pin yang baik, pelaut ulung, pedagang yang jujur, senang berpe­tualang, dan prajurit perang yang baik. Pada masa lampau, mungkin mereka adalah bajak laut yang kejam dan suka memenggal kepala lawannya. Tetapi jika sewaktu-waktu seorang penguasa kerajaan Indonesia membutuhkan sebuah armada yang dikelola pelaut pa­ling hebat yang pernah ada, tak ada yang melebihi kehebatan pe­laut Bajo atau Bugis, atau gabungan dari keduanya. Jika muncul kebutuhan semacarn itu, bangsa Bugis dan keturunan mereka akan terpilih menjadi orang-orang yang paling dipercaya. Kelom­pok inilah yang paling mampu melayani kerajaan-kerajaan tua di Indonesia dengan baik, khususnya Sriwijaya. Dan dalam kasus perjalanan ke Afrika, mereka (bangsa Bugis) adalah orang Indo­nesia yang paling mungkin terlibat.

Ada pendapat lain yang mendukung hipotesis ini. Sebuah in­skripsi tua Melayu yang berasal dari Palembang dan Pulau Bang­ka menceritakan siddhayatra yang agung, ketika Raja Sriwijaya melakukan pencarian "kekuatan supernatural". Isinya tidak dapat secara langsung kita pahami, tetapi bahasa yang digunakan da­lam inskripsi itu sangat penting. Fakta ini ditemukan olch Alexan­der Adelaar ketika sedang mempelajari asal-usul bahasa Madagas­kar. Dengan memerhatikan kemiripan antara bahasa Malagasi clan Melayu, ia membandingkan istilah-istilah dalam bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Malagasi, lalu menarik kesimpulan: "Isti­lah-istilah dalam inskripsi tersebut menunjukkan bahwa migran Malagasi pada masa lampau melakukan hubungan dengan Su­matra Selatan ...... Lebih jauh lagi, lanjutnya, "Bukti-bukti tersebut memperkuat hipotesis yang telah disebutkan di atas bahwa bebe­rapa kalimat dalam bahasa yang tak dikenal (yang menunjukkan kemiripan dengan bahasa-bahasa Barito) yang tertera pada in­skripsi bangsa Melayu di Sumatra Selatan pada abad ke-7 M ada­lah sejenis bahasa pra-Malagasi."

Pentingnya bukti-bukti itu akan terkuak jika kita mulai melihat hubungan antara Madagaskar dan Afrika. Tetapi, selain memper­kuat dugaan kaitan antara Sriwijaya dan Madagaskar, bukti-bukti itu juga memperlihatkan adanya hubungan antara Sriwijaya dan Sulawesi/Kalimantan. Bahasa-bahasa Barito yang disebut olch Adelaar (diambil dari nama sungai di Kalimantan Selatan) yang memiliki kesamaan, tidak saja dengan bahasa Malagasi modern, tetapi juga dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Barat Da­ya, yang merupakan kampung halaman bangsa Bugis, Bajo, dan Makassar.

Meskipun belum sepenuhnya jelas, semua bukti menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Kerajaan Sriwijaya, demikian juga keter­kaitan bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskar dan—lebih luas la­gi—dengan Pantai Timur Afrika.

(Sumber : Buku Penjelajah Bahari, oleh Roberth Dick-Read, Halaman 88-103)

0 komentar:

Posting Komentar