Sabtu, 19 Desember 2009

Daeng Mangalle, seorang pangeran Makassar rupanya terlibat dalam konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang-orang Islam lain di Ayuthia, yang berencana menyerang dan menjarah istana kerajaan, lalu membunuh raja saat kembali dari perjalananya ke kota Lopburi, dan mengubah agama saudara tiri Phra Narai sebelum memproklamirkanya sebagai Raja Siam. Namun, raja telah mengetahui konspirasi tersebut dan segera memperkuat pertahanan istananya dengan mendesak dukungan pasukan Prancis yang berpusat di Bangkok, dan orang asing lain yang berdiam di kerajaannya. Orang Melayu dan Campa dengan segera memohon pengampunan dari kerajaan dan sebagian besar mendapatkannya dengan beberapa perkecualian. Ternyata masih perlu untuk memotong kepala beberapa orang dan memamerkannya di atas tongkat untuk menjadi contoh bagi penduduk. Hanya Daeng Mangalle yang menolak memohon pengampunan dari raja dengan menyangkal bahwa dia yang memulai komplotan dan tidak ikut serta di dalamnya. la juga menambahkan bahwa dengan gelarnya sebagai Pangeran Makassar, ia tidak mungkin bertindak sebagai pengadu tapi lebih suka bertempur dengan teman-teman setanah airnya, terbunuh secara terhormat dan membawa mati rahasia yang boleh jadi dia tahu mengenai komplotan itu. Daeng Mangalle berujar pada raja: "Mengenai orang yang telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak memercayainya sedikit pun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama."

Akibatnya, selama satu bulan wilayah kampung Makassar dikepung oleh pasukan Siam, tapi raja mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya memutuskan menggunakan kekuatan militer untuk memerangi masyarakat Makassar yang kepala batu itu.

Forbin yang memimpin garnisun Prancis di benteng Bangkok menerima perintah raja untuk memblokir dua tempat keberangkatan perahu Makassar yang berniat meninggalkan kerajaan Siam dan mengumpulkan kembali awak kapalnya. Muslihat yang disodorkan pada Forbin adalah "Berpura-pura menggeledah kapal dengan alasan keadaan darurat yang melanda negara, dan dengan dalih mencari orang yang dianggap buronan Siam, melucuti dan menghentikan semua awak kapal, menurunkan mereka ke darat, membawa ke benteng, dan memenjarakan mereka di sana." Seuntai rantai yang direntangkan melintasi sungai mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang Makassar datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras badik mereka dilucuti dan disita. Seorang perwira tua Portugis yang bergabung dalam pasukan Prancis mengingatkan Forbin, "Orang-orang itu tidak dapat ditundukkan, oleh karena itu kita harus membunuh mereka untuk menguasai mereka. Terus terang saja, jika Anda sampai ketahuan ingin menangkap kapten yang berada dalam anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan Seorang pun hidup.”


Prajurit Makassar sedang meluncurkan panah dengan sumpitan

Forbin mengira ia cukup dikawal dengan sepuluh prajurit Siam yang bersenjatakan tombak dan sepuluh prajurit lainnya dengan bedil untuk memeriksa enam orang Makassar yang hanya bersenjatakan badik. "Saya memerintahkan seorang pejabat Siam untuk pergi menyampaikan kepada kapten Makassar bahwa saya merasa tersiksa karena dapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia akan dapat perlakuan baik dari Saya.” Saat kata pertama terlontar dari mulut pejabat Siam itu, sambil mencampakkan topi kain mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus badik dan menyerbu membabi-buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si pejabat Siam dan enam orang rekannya yang ada dalam paviliun."

Forbin sendiri lolos dari maut. Empat orang Makassar terbunuh, sementara dua lainnya terluka dan kapten mereka berhasil lolos. "Tuan Beauregard, kapten berkebangsaan Prancis, ketika melihat bahwa kapten Makassar itu tertembak, beberapa peluru dan sekarat, melarang sersannya untuk membunuhnya. la mendekati kapten itu dan merampas badik-nya. Tapi Beauregard menarik sarungnya, bukan gagangnya dan kapten Makassar yang nyaris mati itu masih punya cukup kekuatan menghunus badik dan merobek perutnya."

Forbin memanggil bala bantuan pasukan yang terdiri atas empat puluh orang Portugis yang dipimpin oleh seorang kapten berkebangsaan Inggris yang tanpa menunggu perintah Forbin membawa pasukannya maju melawan orang-orang Makassar.


Seekor gajah Siam dikenakan pakaian perang

“Segera raja keempatpuluh tujuh orang Makassar yang sampai saat itu jongkok dengan cara mereka, tiba-tiba bangkit dan dengan melingkari lengan kiri mereka dengan sejenis kain selempang yang biasanya mereka lilitkan di pinggang atau di kepala, mereka menerjang orang Portugis dengan badik di tangan, kepala menunduk, dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-­orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari situ, mereka mendesak ke arah pasukan yang saya pimpin tanpa kehabisan napas, meski saya memiliki seribu lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil. Orang-orang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka dan membunuh semua yang dapat mereka jangkau, benar-benar pembantaian yang mengerikan. Dalam keadaan yang kalang-kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng baru. Enam di antara mereka, yang paling nekat, mengejar pasukan yang kabur dan masuk ke dalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok benteng kecil persegi empat. Mereka melewati benteng di sisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan, dengan membunuh tanpa memandang usia dan jenis kelamin, wanita, anak-anak, dan semua yang ada di hadapan mereka.”

Sementara itu, orang-orang Makassar yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka kembali ke kapal untuk mencari tombak dan perisai sekaligus menyalakan api di kapal untuk menunjukkan ketetapan hati mereka untuk bertempur. Mereka menyusuri tepian sungai, melempari rumah-rumah dengan api dan menebarkan teror di mana­-mana. Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh semua biarawan di sana, lalu bersembunyi di balik rerumputan tinggi, di mana mereka dihalau dan dirubuhkan dengan bedil. Dalam pertempuran itu saja, pasukan Eropa-Siam telah kehilangan 366 orang... belum lagi korban penduduk, sipil, sedangkan korban di pihak Makassar hanya tujuhbelas orang. Selama tiga minggu orang-orang Makassar itu terkepung di tengah hutan yang digenangi air pasang dan hanya keluar sebentar untuk mencari makanan berupa sayuran dan buah-buahan di kebun di sekitarnya. Forbin berpikir bahwa saatnya.sudah tiba memberikan pukulan terakhir, karena mereka mustahil bisa merawat luka-luka mereka dan tentu sangat lemah. Hanva tersisa tujuhbelas orang yang selamat. Forbin mengepung hutan dengan duaribu prajurit Siam. la mengusulkan kepada orang Makassar itu untuk, menyerah, tapi mereka "Melompat ke dalam air, dengan badik di mulut, mereka berenang untuk menyerang kami. Orang-orang Siam yang mendapatkan keberanian dari pidato dan contoh yang saya tunjukkan, melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang putus asa itu, hingga tak ada satu pun yang selamat. Demikianlah akhir petualangan menyedihkan, yang selama satu bulan membuat saya luar biasa lelah, nyaris kehilangan nyawa serta menyebabkan saya membunuh begitu banyak orang."

Sementara itu, 23 September 1686, di Ayuthia tigapuluh hingga empatpuluh orang Makassar yang sudah jadi penduduk setempat diundang ke istana untuk bermusyawarah tapi sekali lagi menolak menanggalkan badik mereka dan senjata lain sebelum menghadap raja. Dengan mudah menduga niat pihak kerajaan, mereka pun menolak dilucuti sebelum pembicaraan dimulai. Kapten mereka, Daeng Mangalle tetap saja herpura-pura tidak bersalah dan tidak merasa perlu meminta pengampunan dari raja. Karena sebelumnya telah diberitahu mengenai komplotan itu tapi tidik mengambil bagian secara langsung di dalamnya, kapten itu hanya dituduh bersalah karena tidak memberitahu raja. Kehormatan mencegahnya untuk bertindak sebagai pengadu dan sebagai mata-mata terhadap teman-temannya seagamanya. Di malam 23 September, raja memerintahkan beberapa ribu prajuritnya mengepung kampung Makassar di Ayuthia, diperkuat dengan dua kapal perang, duapuluh dua kapal dayung dan enampuluhan kapal kecil yang menyeberangi sungai. Melihat persiapan itu, orang-orang Makassar paham bahwa serangan sudah dimulai. Semua tahu tidak ada kemungkinan lain untuk mereka kecuali bertempur sampai mati dan banyak di antara mereka membunuh istri dan anak-anak mereka sendiri agar terhindar dari penjara dan perbudakan. Tanda serangan diberikan jam 4.30. serangan pertama gagal dan sebagian besar penyerang tewas. Kapten Inggris, Coates, yang memimpin kapal perang Siam, setelah melemparkan bola-bola api untuk membakar rumah-rumah, mengira telah herhasil menaklukkan semua perlawanan dan mencoba mendarat dengan sekitar selusin orang Inggris dan seorang perwira Prancis. Orang-orang Makassar menggali parit untuk berlindung dan keluar dari situ untuk melancarkan serangan balasan. Coates mendapat hantaman di kepalanya hingga terlempar ke air dan karena berat baju zirahnya, ia tenggelam. Sementara itu, perwira Prancis tadi selamat karena bisa berenang. Bala bantuan dari orang-orang, Makassar datang dan bergerombol di antara pepohonan bambu sebelum keluar lagi untuk menggempur habis-habisan di bawah pengaruh, tulis Pastor Tachard, gumpalan-gumpalan candu "yang membuat mereka mengamuk dan melenyapkan semua pikiran dan keinginan lain kecuali membunuh atau dibunuh". Pasukan Siam sekali lagi harus mundur dan menunggu bantuan baru dari empatratus orang. Pasukan Siam berjumlah tigaribu prajurit yang didahului dengan delapanratus mousquetaires (prajurit bersenjatakan bedil). Forbin menjelaskan suasana serangan dan taktik yang diterapkan untuk gerak maju pasukan-pasukan itu.

Karena wilayah itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan di dalam air setinggi separuh tungkai, jenderal Siam suruh nuat raringan kisi-kisi yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau ... Peralatan ini, yang bergerak di depan pasukan, dibenamkan ke dalam air... Orang Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa melihat di mana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa maju maupun mundur. Kami lalu membunuhi banyak di antara mereka dalam keadaan berdiri dengan berondongan bedil.

Kami terus menghalau musuh dari satu pemukiman ke pemukiman lain, setelah membakarnya terlebih dahulu. Kami mendengar jerit mengerikan para wanita yang terbakar dalam rumah mereka. Mengenai yang pria, mereka baru keluar pada saat terakhir dan menyerang membabi-buta dengan senjata tajam guna bertempur sampai mati. Daeng Mangalle sendiri terluka lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak, langsung menerjang menteri Siam, membunuh seorang Inggris yang berada di sebelahnva dan rubuh tertembak oleh seorang Prancis. Putra sulung Daeng Mangalle yang masih berusia 14 tahun ketika melihat ayahnya terkapar di tanah, melemparkan senjatanya ke kaki menteri yang membiarkan anak itu hidup. Akhirnya pertempuran itu berakhir jam tiga Siang dengan menyerahnya 22 orang Makassar dan 33 mayat prajurit mereka dikumpulkan dari medan pertempuran. Selama dua atau tiga hari, kami memburu mereka yang masih hidup. Orang-orang Siam tidak memberi ampun pada tawanan mereka. Kebanyakan mereka disiksa dengan kejam: pasak ditancapkan menembus kuku, tangan dibakar, pelipis dijepit dengan dua papan, sebelum di ikat di tiang untuk santapan harimau. Tachard menambahkan bahwa orang-orang yang memegang senjata di tangan mereka dipenggal dan kepalanya dipamerkan di depan rakyat jelata. Beberapa dari mereka dikubur hingga leher, lalu mati setelah dicemooh dan dihina penonton yang tidak punya belas-kasihan. Sementara anak-anak dan wanita, yang tidak terbunuh dalam penyerangan atau terbakar dalam rumah, dijual sebagai budak.


Prajurit Bugis dari Makassar

Peristiwa dramatis itu membuat penduduk, terpana dan kagum akan perlawanan tak terperikan dan gagah berani yang ditunjukkan oleh suatu masyarakat kecil yang terdiri dari sekitar duaratus orang asal Makassar dan hanya bersenjatakan tombak dan badik, berhadapan dengan tentara yang berjumlah ribuan prajurit Siam, dibantu oleh empatpuluhan orang Prancis, beberapa orang Inggris, dan orang asing lainnya. Selama pertempuran, tidak kurang daripada seribu orang Siam dan tujuhbelas orang asing tewas.

(Sumber : Buku O
rang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 113-121)

0 komentar:

Posting Komentar