Sabtu, 19 Desember 2009

Bermula di zaman Maradika Pua' Aji memerintah di Mamuju (sekarang Ibu kota Propinsi Sulawesi Barat) datanglah Kapal Putih (Kapal Perang) Belanda langsung ke pelabuhan Mamuju kira-kira pada tahun 1902. Belanda langsung menjemput Maradika Pua' Aji bersama Ada' Pitu dibawa ke Kapal Putih, kecuali Pangulu dan Tomatoa. Kapal Putih tersebut membawa Maradika Pua' Aji dan Ada' Pitu berlayar sampai ke Tanjung Rangas dan disanalah Belanda menyodorkan Surat Perjanjian (Korte Verklaring) yang isinya "BALINNA BALANDA BALIKKUTO'" dengan huruf Lontar. Kemudian Belanda bersedia menggaji Maradika Pua' Aji dan Ada' Pitu dengan syarat "Semua senjata kerajaan harus diserahkan kepada Belanda" Mulai pada saat itu Maradika Mamuju dan Ada' Pitu resmi menjadi Zelef Bestuur dibawah kekuasaan Belanda. Setelah Pangulu dan Matoa dipanggil oleh Maradika untuk menyerahkan senjata kerajaan kepada Belanda, maka Pangulu sebagai Panglima Perang kerajaan bersama Matoa sama sekali tidak menyetujui untuk menyerahkan senjata tersebut. Maka Pangulu dan Matoa meninggalkan Maradika dan Adat Mamuju menuju Budong-Budong dengan mengangkut semua senjata dan peralatannya, lalu mendirikan benteng pertahanan di Kayu Mangiwang kira-kira 10 Km dari pantai Ba'bana Budong-Budong dan mereka nekad untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belenda dengan Benteng Kayu Mangiwang sebagai markasnya.

Jadi yang sebenarnya membangun Benteng Kayu Mangiwang adalah Pangulu dan Matoa yang kemudian dilanjutkan dan dimotori oleh 5 serangkai, yaitu :
1. Pattolo'bali (Pattolo' Lipu)
2. Daenna Macirinnae
3. Parimuku
4. Mantaroso' Pattana Bone
5. Andi Mattona'

Lima serangkai ini bersama dengan Pangulu dan Matoa yang lebih menyempurnakan pembangunan Benteng Kayu Mangiwang dan dilengkapi dengan peralatan perang secukupnya. Setelah mereka merasa bahwa benteng tersebut sudah lengkap, baru mereka menghubungi Pitu Ulunna Salu untuk meminta partisipasinya didalam berjuang menentang penjajahan Belanda.

Datanglah serombongan Pa'barani (bhs. Ind. Pemberani) dari Mambi yang dipimpin oleh Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin 5 serangkai dari Kayu Mangiwang untuk dipersiapkan menghadapi serdadu Belanda.

Setelah mereka merasa segala persiapan sudah rampung, maka Pangulu sebagai Panglima Perang menyurat kepada pimpinan serdadu Belanda di Mamuju dan menyatakan bahwa : "KALAU SERDADU BELANDA MAU MENGAMBIL SENJATA SESUAI YANG TERCANTUM DALAM KORTE VERKLARING, SILAHKAN DATANG DI BENTENG KAYU MANGIWANG DI BUDONG-BUDONG"

Berdasarkan surat Pangulu tersebut, maka Belanda mempersiapkan satu kompi serdadu untuk datang ke Benteng Kayu Mangiwang, yang akhirnya, semua tentara yang satu kompi itu tewas akibat sergapan dari pasukan Benteng Kayu Mangiwang, kecuali pimpinan pasukannya saja yang masih hidup bernama Letnan Janggu'.

Disamping sedih Letnan Janggu' juga sangat malu dalam peristiwa itu, lalu Belanda meminta bantuan untuk melakukan ekspedisi yang kedua. Namun ekspedisi kedua ini juga musnah ditangan pasukan Kayu Mangiwang. Didatangkan lagi ekspedisi ketiga yang juga mengalami nasib yang sama, dan Belanda meningkatkan jumlah pasukannya secara berlipat ganda pada ekspedisi keempat. Namun ekspedisi keempat inipun tidak berdaya menghadapi taktik Pangulu dkk. Pasukan Benteng Kayu Mangiwang membuat jembatan yang menghubungkan sungai Budong-Budong dengan benteng dan setelah Belanda menyeberang jembatan tersebut dirobohkan dan serdadu Belanda tenggelam di sungai.

Lama berselang, Belanda tidak menyerang lagi Benteng Kayu Mangiwang dan pada akhirnya merencanakan ekspedisi kelima dengan menggunakan tentara pilihan mereka yang bernama MARSOSE. Pasukan Marsose ini menyerang Benteng Kayu Mangiwang dari belakang melalui Lu'mu'. Pasukan Marsose mengambil seorang rakyat di Lu'mu' untuk dijadikan penunjuk jalan. Dini hari menjelang Subuh, mereka tiba di Benteng Kayu Mangiwang dan mulai bertempur sehari suntuk.

Menjelang tengah hari, Marsose menghentikan perang untuk beristirahat. Sementara istirahat, Pattolo' Lipu bersama-sama dengan beberapa anggota pasukan membersihkan mayat-mayat yang sudah berbau busuk bergelimpangan disekitar benteng dan dibuang ke sungai. Berbarengan dengan itu, Pattolo' Lipu menemukan sebuah terompet mengkilap bagai emas lalu diambilnya dan diperlihatkan kepada kawan-kawannya. Mungkin Pattolo' Lipu terangsang oleh jiwa mudanya karena di antara 5 serangkai, Pattolo' Lipulah yang paling muda, sehingga ia selalu ingin membunyikan terompet itu, tapi dilarang oleh kawan-kawannya. Namun diam-diam Pattolo' Lipu keluar dari pintu lalu membunyikan terompet tersebut dengan bunyi yang tidak karuan. Akibatnya serdadu Marsose serentak tiba-tiba menyerang masuk ke benteng karena disangkanya tukang terompetnya dalam keadaan gawat, Pertempuran yang terjadi secara tiba-tiba itu berlangsung sengit dan tidak terkendali, mengakibatkan Daenna Macirinnae gugur dalam pertempuran ini, dan sekitar pukul 16.00 jatuhlah Benteng Kayu Mangiwang ditangan serdadu Marsose Belanda.

Pattana Bone bersama Pa'barani dari Mambi yakni Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' sempat meloloskan diri dan berjalan terus tembus ke Kombiling dan Kamansi terus naik perahu menuju Pulau Karampuang dan bersemubnyi disana. Sedangkan dua Pa'barani dari Mambi, Pua' Indaya dan Pua' Labamusu' berjalan terus menembus hutan dan tiba di Lombang-Lombang. Sedangkan Parimuku masih sempat membunuh serdadu Marsose yang akhirnya beliaupun terbunuh oleh serdadu Marsose tersebut. Pattana Bone pada akhirnya diketahui diasingkan ke Pulau Jawa selama 15 tahun. Yang masih misterius keberadaannya ialah Pattolo' Lipu karena ternyata beliau tidak gugur dalam pertempuran itu, namun kabarnya ia ditangkap Belanda sesudah jatuhnya Benteng Kayu Mangiwang.

Delapan belas tahun kemudian, yakni dalam tahun 1925, datanglah sebuah kapal besar Belanda berlabuh di Budong-Budong dengan Kapten Kapalnya dikenal bernama Tuan Busman. Tuan Busman ini aneh dan misterius sekali karena disamping mengetahui semua nama-nama orang Budong-Budong sampai Mamuju, juga sangat fasih bahasa Mamuju.

Mula-mula Tuan Busman pergi menemui semua bekas-bekas pejuang Kayu Mangiwang. Kemudian beliau pergi ke rumah Pattolo' Lipu dan menyuruh memanggil ketiga isteri Pattolo' Lipu. Dalam pertemuan dengan ketiga isteri Pattolo' Lipu tersebut, mereka sangat ragu dan menduga keras bahwa sebenarnya Tuan Busman itu adalah Pattolo' Lipu sendiri karena terbukti tidak ada satupun keluarga Pattolo' Lipu yang luput dari pertanyaan dan pencariannya. Pada akhirnya beliau mengadakan persetujuan dengan keluarganya, bahwa tiga bulan kemudian dia akan pensiun dan akan datang di Makassar mendirikan rumah dan harap keluarganya datang menemui beliau ke Makassar. Tiga bulan kemudian keluarganya datang di Makassar untuk menunggu kedatangannya dan tidak berapa lama datanglah berita dari Nederland bahwa Tuan Busman meninggal dunia di sana.

(Sumber : Buku SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN BANGSA DI MANDAR, oleh DRS. A.M. MANDRA, Penerbit PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MAJENE, tahun 2002, halaman 38 s/d 42)

0 komentar:

Posting Komentar